Tiada berapa lamanya
sesudah hal yang tersebut di atas itu, berjalan-jalanlah Abu Nawas ke kampung
orang Yahudi di dalam negeri Bagdad, lalu singgah ke rumah seorang Yahudi
kenalannya yang tengah bermain dana-dana. Setelah Abu Nawas memberi salam dan
duduk, diberikanlah oleh Yahudi itu kepadanya sebuah kecapi untuk dibunyikan.
Maka bermain kecapilah Abu Nawas, terlalu merdu bunyinya. Kemudian kecapi itu
pun diambil oleh Yahudi dari tangan Abu Nawas, lalu Abu Nawas disuruhnya menari
dana-dana. Abu Nawas pun menarilah. Setelah sudah bermain kecapi dan
menari-nari itu, maka Yahudi itu pun meminta kopi, karena mereka itu menurut
kebiasaan harus minum bersama-sama.
Maka dikeluarkan
oranglah kopi manis, lalu diberikan kepada tiap-tiap yang hadir itu semangkuk
seorang. Ketika Abu Nawas hendak minum dan mengangkat cangkirnya, ia ditampar
oleh Yahudi itu.
Rupanya Abu Nawas suka
saja hatinya. Serta diangkatnya pula cangkir itu sekali lagi beserta piringnya,
maka ia pun ditampar pula oleh Yahudi itu. Banyak sungguh Abu Nawas menerima
tamparan semalam itu. Sebab sekali angkat sekali tampar . . .
Setelah sudah minum-minum
kopi secara itu bermohonlah Abu Nawas hendak pulang ke rumahnya, karena hari
sudah pukul dua malam. Di tengah jalan Abu Nawas berpikir-pikir di dalam
hatinya, “Jahat sungguh perangai orang Yahudi itu. Main tampar saja! Minumnya
seperti binatang! Perangai yang demikian tak boleh dibiarkan saja di negeri
Bagdad ini! Aa, ada . . . suatu akal.” Dalam pada itu ia pun sampai ke
rumahnya.