Kamis, 26 Mei 2011

ABU NAWAS MENJUAL SULTAN HARUNNURASYID

 Alkisah maka tersebutlah Abu Nawas kehabisan belanja. Hendak pergi memohonkan belanja itu ke bawah duli yang dipertuan, malu juga ia rasanya, karena adat Sultan Harunnurasyid pada tiap-tiap hari baginda menganugerahkan uang kepadanya. Pada hari itu kiranya tiadalah ia diberi oleh baginda.
Maka pikir Abu Nawas dalam hatinya, “Apakah dayaku sekarang ini”? di dalam berpikir-pikir itu terbitlah suatu niat dalam hatinya. “Baiklah Sultan Harunnurasyid kujualkan!” katanya. Setelah itu Abu Nawas pergilah menghadap Sultan Harunnurasyid, seraya menyembah.
Maka titah baginda, “Kemana engkau ini?”
Jawab Abu Nawas, “Adapun patik ini tiga kali berjalan-jalan di darat negeri Bagdad hendak melihat orang Badui menanam gandum dan sebagainya. Sekali patik penat, lalu berhenti dibawah pohon kayu yang amat besar, maka patik pun mendengarkan bunyi-bunyian, terlalu baik sekali bunyinya itu. Dengan segera patik bangun, lalu mengikuti bunyi-bunyian itu. Baik sekali bunyinya pada pendengaran patik, seperti bunyi-bunyian di dalam surga. Patik pun heranlah dan tercengang-cengang mendengarnya, patik berjalan juga. Setelah sampai ke rumah orang yang memalu bunyi-bunyian itu, lalulah patik hendak melihat orang itu.
Itulah sebabnya maka patik tiada datang menghadap ke bawah duli Syah Alam”. Setelah Sultan Harunnurasyid mendengar kata Abu Nawas itu, baginda pun berahilah didalam hatinya, serta berkata dengan sendirinya, “aku mau pergi, hendak bermain-main ke sana dan mendengar bunyi-bunyian itu”.
Kemudian baginda bertitah kepada Abu Nawas, “Hai Abu Nawas, bawalah olehmu aku pergi bermain-main ke tempat itu, supaya aku mendengar bunyi-bunyian itu”!
Sembah Abu Nawas, “Baiklah, Tuanku! Esok harilah Tuanku patik bawa ke tempat itu”.
Titah baginda, “Hai Abu Nawas, berapa jauhnya tempat bunyi-bunyian itu”.
Sembah Abu Nawas, “Ya Tuanku Syah Alam! Adapun kira-kira dua jam perjalanan jauhnya, maka sampailah ke tempat itu”.
Titah baginda pula, “Ya Abu Nawas! Jika demikian, baiklah kita bawa menteri dan rakyat sedikit, karena perjalanan itu terlalu jauh dan lagi didalam hutan rimba.”
Sembah Abu Nawas, “Ya Tuanku Syah Alam! Adapun sebabnya patik datang mempersembahkan hal ini, karena patik sudah mendengar bunyi-bunyian itu; akan tetapi Tuanku belum. Kehendak hati patik Tuanku dengan patik saja pergi kesana, dan jangan ada orang lain yang mendengar bunyi-bunyian itu. Sebab itulah maka patik persembahkan ke bawah duli Syah Alam”.
Demi mendengar Sultan Harunurrasyid akan perkataan Abu Nawas itu, maka amirulmukminin berpikir di dalam hatinya, “Baiklah aku pergi dengan Abu Nawas ini!”
Keesokan harinya berjalanlah Sultan Harunurrasyid dengan Abu Nawas ke darat negeri Bagdad. Adapun waktu baginda berjalan itu isi istana seorang pun tiada tahu, karena hari baru waktu subuh. Abu Nawas membawa sultan pada jalan ke tempat orang Badui yang bertanam gandum, jagung, pisang dan keladi.
Dalam pada itu maka titah Sultan Harunurrasyid, “Hai Abu Nawas! Jauh lagi tempat itu?”
Sembah Abu Nawas, “Tiada jauh lagi, tampaklah sudah pohon kayu itu”. Maka Abu Nawas berjalan dengan Raja Harunurrasyid menuju ke tempat itu. Telah sampai kepada pohon kayu itu, maka sembah Abu Nawas kepada Sultan, “Ya Tuanku Syah Alam, duduklah SyahAlam di bawah pohon kayu ini dahulu, biarlah patik pergi dahulu melihat bunyi-bunyian itu, dekat atau tidak.”
“Baiklah”.
Abu Nawas pergilah kepada orang Badui yang bertanam gandum itu. Maka katanya kepada orang Badui yang bertanam gandum itu, “Maukah engkau membeli temanku, laki-laki yang baik lagi gemuk badannya?”
Kata Badui itu, “Dimanakah tempat teman Tuan hamba itu? Antarkanlah hamba ke tempatnya!”
Jawab Abu Nawas, “Hai, Badui! Adapun temanku itu terlalu sangat aku sayangi dan apabila aku bawa engkau bersama dengan daku, dan mataku memandang mukanya, niscaya tiada jadi terjual olehku dia itu”.
Kata Badui itu, “Sekarang di manakah kawan Tuan hamba itu?”
Sahut Abu Nawas, “Marilah engkau bersama-sama dengan daku, supaya kutunjukkan dia!”
Maka berjalanlah orang Badui itu dengan Abu Nawas, sehingga dekat-dekat pada tempat Sultan Harunurrasyid duduk itu. Setelah sampai maka ditunjuknya raja, yang duduk di bawah pohon kayu itu. Serta dilihat oleh Badui, maka katanya, “Berapakah harganya!”
Sahut Abu Nawas, “Aku beli dahulu seratus dinar emas, sekarang pun demikian itu juga harganya.”
Kata Badui itu pula, “Baiklah! Inilah, aku bayar dia seratus dinar kepada Tuan hamba.”
Maka Abu Nawas pun menerima seratus uang dinar itu. Kemudian kata Badui itu, “Hai, menteri raja di dalam negeri Bagdad ini! Adapun Tuan hamba menjual seorang teman kepada hamba ini, berilah sepucuk surat kepada hamba ini!”
Setelah itu Abu Nawas menulis sepucuk surat, langsung diberikannya kepada Badui itu. Adapun bunyi surat itu demikian:
“Bahwasanya Abu Nawas telah menjual Sultan Harunurrasyid kepada Badui dengan harga seratus dinar emas.”
Setelah itu Abu Nawas pun kembalilah berjalan melalui jalan yang lain pulang ke rumahnya. Baru saja Abu Nawas itu berjalan, pergilah Badui itu ke tempat Sultan Harunurrasyid; maka katanya, “Marilah engkau pulang ke rumahku itu!”
Maka baginda pun terkejut mendengar perkataan demikian itu, tapi baginda berjalan jua ke rumah Badui itu. Adapun Badui itu tiada kenal akan Sultan Harunurrasyid. Setelah sampai di rumahnya itu, lalu disuruhnya Sultan itu naik; maka duduklah baginda di dalam rumah itu. Apabila hari sudah malam, Sultan diberi makan oleh Badui itu; dibubuhnya pada suatu dulang kayu nasi sedikit dengan minyak sapi sedikit ikan kering sedikit.
Melihat hal yang demikian itu, maka baginda insaf akan dirinya; di dalam hatinya, “Aku ini seorang sultan, yang empunya kerajaan di dalam negeri Bagdad; aku pun beroleh makanan sekian ini?” maka bersyukurlah baginda kepada Allah taala; lalu dijamahnya nasi itu sedikit, lalu dimasukkannya ke dalam mulutnyam karena itulah rezekinya, yang dianugerahkan Allah taala kepadanya. Setelah makan, baginda pun berpikir di dalam hatinya, “Abu Nawas itu kemana gerangan perginya dan di hutan mana ia sekarang ini?” maka baginda pun heranlah akan dirinya. Mengapa baginda dibuat orang demikian!
Alkisah maka tersebutlah orang di dalam istana amirulmukminin. Karena baginda tiada di dalam istana itu, huru haralah mereka itu. Keadaan itu belum diketahui orang lagi di dalam negeri. Setelah hari siang, Badui itu pun memberikan sebilah parang kepada Sultan Harunurrasyid; disuruhnya baginda membelah kayu. Maka baginda pun mengambil parang itu. Amat kaku perbuatannya, dan caranya mempergunakan parang itu pun lain sekali. Serta dilihat Badui akan hal itu, berpikirlah ia dalam hatinya, “Orang mana gerangan ini?” lalu ia bertanya, “Mengapakah engkau membelah kayu dengan punggung parang?”
Sahut baginda, “Adapun hamba ini tiada tahu akan pekerjaan yang demikian itu, karena hamba tiada biasa.” Kemudian raja itu bertanya kepada Badui itu, “Abu Nawas itu kemana perginya?”
Sahut Badui itu, “Adapun Abu Nawas itu telah pulang ke rumahnya, karena engkau ini telah dijualnya kepadaku dengan harga seratus dinar emas; ada surat keterangannya, yang diberikannya kepadaku.” Oleh Badui itu diperlihatkannya surat keterangan itu kepada Sultan Harunurrasyid.
Maka baginda pun tiada berkata-kata lagi. Termenung seketika karenanya. Kemudian berkatalah baginda kepada Badui itu, “Aku ini Sultan Harunurrasyid, raja yang memerintah dalam negeri Bagdad!”
Demi didengar oleh Badui itu akan perkataan baginda yang demikian itu, maka Badui itu pun sujud menyembah kaki amirulmukminin, sembahnya, “Ya Tuanku Syah Alam! Tiadalah patik sekali-kali mengetahui akan Syah Alam ; ampunilah dosa patik ini.”
Setelah sudah Badui itu minta ampun, maka baginda pun berkata, “Hai, Badui, antarkan aku ini ke dalam istanaku!” sembah Badui itu, “Ya Tuanku Syah Alam, patik junjung segala titah duli yang dipertuan!” setelah itu lalu Badui itu mengambil kain, diperbuatnya seperti buaian. Setelah sudah, Sultan Harunurrasyid masuklah ke dalam buaian itu, lalu diusung oleh Badui itu dengan beberapa orang kawannya dan dibawanya ke dalam istana baginda.
Setelah baginda sudah sampai ke dalam istananya, maka dikurniakan baginda seratus dinar kepada Badui itu, serta katanya, “Akan rahasia ini sekali-kali jangan engkau khabarkan kepada wazir-wazirku. Jika ia bertanya sekalipun jangan engkau khabarkan!”
Adapun baginda tiadalah mengeluarkan sepatah kata dari perjalanannya ke darat negeri Bagdad itu, melainkan diam saja. Tiada berapa lama antaranya Sultan Harunurrasyid memberi titah kepada orang akan mencari Abu Nawas, “Carilah oleh kamu sekalian Abu Nawas, dan dimana ia ada, tangkap olehmu sekalian. Jika dapat bawa kepadaku!”
Setelah itu dicarilah Abu Nawas oleh orang-orang itu, tiadalah bertemu; bertanyalah mereka itu kepada istrinya, “Kemana Abu Nawas pergi?” Kata istrinya itu, “Sudah tiga hari tiga malam ia tiada datang ke rumah.”
Setelah itu orang itu pun mencarinya lagi pada segenap kampung dan segenap lorong dan segenap dusun di dalam negeri Bagdad itu dan sampailah kepada tujuh hari lamanya tiada juga menjumpainya. Maka sekalian orang itu pun masuklah ke dalam istana, mempersembahkan hal itu ke bawah duli Syah Alam, serta berkata, “Tiadalah patik sekalian bertemu dengan Abu Nawas!”
Sultan Harunurrasyid berdiam diri saja.
Adapun Abu Nawas, pada hari itu juga pulang ke rumahnya. Setelah datang, pikirnya di dalam hatinya, “Dari hal aku ini dengan amirulmukminin apakah dayaku?” Setelah itu ia pun mufakat dengan istrinya, katanya, “Aku ini sudah berbuat salah yang besar kepada Sultan!”
Kata istrinya, “Apakah dosa yang Tuan hamba perbuat atas baginda?”
Sahut Abu Nawas, “Pada suatu hari aku kekurangan belanja kita ini. Aku hendak pergi menghadap memohonkan uang ke bawah duli Syah Alam , malulah aku mengeluarkan kata itu. Sebab itu kubawa Sultan ke darat negeri Bagdad ini pada kampung orang Badui, lalu kujual raja itu kepada orang Badui. Oleh sebab itulah maka Syah Alam menyuruh menangkap aku, dan lagi hendak dibunuhnya aku ini. Demikianlah halnya.”
Aetelah sudah berkata-kata dengan istrinya, Abu Nawas pun berpikir di dalam hatinya, “Terlebih baik kuperdayakan juga Syah Alam itu!” Pada ketika itu juga Abu Nawas membuat mati dirinya, seraya katanya kepada istrinya, “Apabila didengar oleh Sultan Harunurrasyid aku telah mati, niscaya datanglah baginda ke rumah kita, dan sekalian orang pun tentu datang juga bersama sama mengiringkan baginda. Apabila baginda sampai ke rumah kita ini, maka pura-pura menangislah engkau dengan tangis yang amat sedih, lalu engkau sujud pada kaki baginda. Jikalau baginda bertanya kepada engkau, “Apakah penyakit Abu Nawas itu?” maka engkau jawab, “Tiada apa penyakitnya. Pada tengah malam tadi ia datang, lalu masuk ke dalam rumah; sudah itu ia tidur, dan ketika hampir siang, patik bangunkan dia akan sembahyang subuh. Dua tiga kali patik raba badannya, keras kaku dan nafasnya tiada lagi, sebab itulah patik menangis, “Demikianlah kata engkau kepada amirulmukminin, dan apabila diangkat orang jenazahku ini, hendaklah engkau peluk kaki baginda itu, serta engkau berkata, “Ya Tuanku Syah Alam! Jika ada kurnia duli Tuanku kiranya, hendaklah Tuanku ampuni segala dosa Abu Nawas di hadapan khalayak yang banyak ini, dari dunia datang ke akhirat!”
Nah, sukalah engkau berbuat demikian? Jika suka, pada esok harinya dapatlah kuperbuat suatu hikmat.”
“Baiklah ya, Kakanda!”
Tiada berapa selang lamanya maka masyhurlah khabar orang mengatakan Abu Nawas sudah mati. Orang pun datanglah menghadap Sultan Harunurrasyid, mempersembahkan Abu Nawas tidak ada lagi.
Serta didengar baginda khabar kematian yang tak disangka-sangka itu, datanglah baginda dengan segera ke rumah Abu Nawas, lalu bertanya kepada bininys, “Apakah sakitnya Abu Nawas itu, karena aku tiada mendengar ia sakit?”
Maka menjawablah bini Abu Nawas sebagai yang diajarkan suaminya itu. Demi amirulmukminin mendengar kata yang demikian itu, disuruhnyalah beberapa orang biduandanya memanggil tabib yang pandai-pandai akan melihat penyakit di dalam badan Abu Nawas itu. Kemudian datanglah tabib itu menghadap baginda, lalu memberi salam dengan takzimnya.
Sabda Sultan itu, “Ya, Tabib, apakah penyakit Abu Nawas itu?” Sembah tabib itu, “Ya, Syah Alam! Adapun Abu Nawas ini matilah sudah.” Demi didengar Sultan Harunurrasyid perkataan itu, baginda pun menangis dan segala tabib itu pun menangis pula, terlalu keras tangisnya itu.
Kata baginda, “Ya Abu Nawas, apakah dosamu maka engkau membunuh dirimu? Apa jua dosa yang engkau perbuat akan daku, kumaafkanlah!” dan lagi kata raja itu, “Ya Abu Nawas, siapa lagi yang akan membuat jenaka dan kelakar akan menyuka-nyukakan hatiku ini?”
Berbagai-bagai kata baginda dan bunyi ratap sekalian orang itu, dan amat banyak sahabat kenalan yang berhimpun di rumah Abu Nawas itu. Ketika dua tiga orang hendak mengangkat mayat Abu Nawas dari tempat berbujur untuk dimandikan, dikafani, disembahyangkan dan kemudian dimasukkan ke dalam lung atau keranda, berkatalah istrinya kepada mereka itu disertai tangisnya, “Nantilah dahulu, karena ada suatu pesan suami hamba, disuruhnya hamba menyampaikan ke bawah duli Syah Alam!”
Maka dippersembahkan oranglah perkataan istri Abu Nawas itu kepada raja. Demi didengar Sultan Harunurrasyid perkataan itu, Baginda pun datanglah kepada istri Abu Nawas serta berkata, “Apa pesan Abu Nawas kepada engkau? Sampaikanlah kepadaku!”
Setelah itu dipersembahkan oleh istri Abu Nawas pesan suaminya itu, seraya menangis jua dan menyembah kaki baginda. Maka titah baginda, “Barangsiapa yang telah berbuat dosa akan daku, dan minta ampun kepadaku, kuampunilah segala dosanya dari dunia sampai ke  akhirat.”
Setelah itu maka Sultan Harunurrasyid pun menyuruh himpunkan sekalian orang itu. Setelah sudah terhimpun sekaliannya itu, baginda pun bertitah sambil memegang tepi kain tutup mayat. Abu Nawas, “Engkau sekalian menjadi saksi pada hari kiamat, bahwasanya aku mengampuni segala dosa Abu Nawas kepadaku, tiadalah tinggal lagi dosanya.” Demikianlah titah Sultan Harunurrasyid.
Adapun akan Abu Nawas, serta mendengar segala perkataan baginda itu, berserulah ia dari balik kain itu dengan suara yang amat nyaring, “Syukur......”
Maka terkejutlah baginda itu, lalu lari tunggang langgang ke istananya. Sekalian khatib dan imam dan bilal pun larilah jatuh bangun, tiada berketentuan perginya. Orang banyak masing-masing lari juga, tiada tentu tempat larinya itu oleh ketakutannya. Pada pikiran segala orang itu: hantu “kubur” akan menangkap mereka itu!
Maka Abu Nawas pun bangun dan keluar dari dalam selimut tebal yang menutupi tempat dia membujur itu, langsung berdiri ke tengah rumah yang telah sunyi. Setelah itu ia minta nasi kepada istrinya, lalu makan. Kemudian pergilah ia ke istana Sultan Harunurrasyid. Setelah sampai, langsunglah ia masuk ke dalam menghadap baginda.
Pada masa itu baginda ada bersemayam di istana. Setelah datang, Abu Nawas pun memberi salam kepada sultan. Baginda tiada menyahut salam Abu Nawas itu, hanya bertitah, “Ya, Abu Nawas! Kerja apakah yang kau lakukan tadi, mendatangkan ketakutan kepada semua orang dan pegawai sekaliannya? Semuanyalari jatuh bangun, ada yang luka kepalanya, masing-masing sebab perbuatanmu itu juga.”
Abu Nawas berdiam diri. Maka titah baginda pula, “Ajarkanlah ilmu itu kepadaku!”
Sembah Abu Nawas, “Ya, Syah Alam! Adapun ilmu itu tiada boleh patik ajarkan kepada seorang jua pun. Kalau patik ajarkan niscaya betul-betul matilah patik; demikian kata guru patik waliullah yang besar lagi keramat itu.”
Setelah didengar oleh Sultan Harunurrasyid perkataan Abu Nawas yang demikian itu, maka bertitahlah baginda kepadanya, “Hai Abu Nawas, mulai hari ini janganlah engkau sekali-kali datang ke istanaku ini lagi, melintas pun jangan!”
Demi didengar Abu Nawas titah baginda itu, ia pun bermohon diri pulang ke rumahnya.
 

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters