Rabu, 25 Mei 2011

BISMA, MANUSIA WADAT YANG SUMPAHNYA MENJADI SEBAB PERANG BARATAYUDA

Hanya satu permintaan Gangga kepada Sentanu, yaitu harus memanjakan, artinya tidak boleh bertanya siapa sebenarnya dia, bahkan tidak boleh menghalang-halangi apapun yang diperbuatnya, walaupun buruk sekalipun. Sekali-kali Sentanu tidak boleh murka dengan alasan apapun kepada Gangga, isterinya. Permintaan Gangga diterima dengan senang hati , karena kecuali Gangga memang wanita yang berseri-seri, walaupun tanpa make up, juga parasnya tetap cantik dan bertubuh indah.

Perkawinan dan penobatan Sentanu menjadi raja di Astinapura dimeriahkan. Tetapi untuk waktu yang cukup lama, perkawinan itu tidak mendatangkan rasa bahagia,bahkan Sentanu selalu diliputi rasa cemas dan dosa atas perbuatan permaisuri yang setiap kali melahirkan bayi segera melemparkan ke sungai Gangga.

Sentanu tidak berani sepatahpun menegurnya, karena sebelumnya memang sudah bersumpah, tidak akan menegur tingkah laku yang akan diperbuat permaisurinya. Namun setelah ketujuh kalinya, maka pada kelahiran bayi yang kedelapan, meledaklah kemarahan Sentanu yang tak tertahan lagi. Ia segera menghampiri Gangga sambil bersabda:

“Hai Gangga! Hentikan perbuatanmu yang terkutuk dan tak berperikemanusiaan itu. Berikan bayi yang kau pegang”. Sangat terkejutlah hati Gangga dan menghentikan perbuatan menghanyutkan bayi, putranya yang kedelapan itu. Sambil menyerahkan bayi itu kepada Sentanu, berkatalah ia:

“Tuanku, terimalah anak yang baru lahir atas perkawinan kita. Nama bayi ini adalah Dewabrata, kelak akan menjadi satria sakti, mahawira, arif bijaksana, filsuf sekaligus pujangga agung, bahkan akan menjadi panglima perang yang sangat dikagumi, baik oleh kawan maupun lawannya. Karena sang Prabu melanggar janji, berani menegur hamba, maka izinkanlah hamba kembali ke kahyangan”.

Keputusan Gangga ini kalau kita renungkan secara eksistensial hanya memperpanjang penderitaan dan kematian Bisma dari seorang wanita. Sentanu menerima bayi, dan pada saat itu juga Gangga lenyap dari pandangan mata. Dan saat itu pulalah Dewabrata dinobatkan menjadi pangeran Adipati pewaris kerajaan Astina. Jadi dengan demikian Sentanu menduda sambil memelihara bayi (Dewabrata). Semula ia bertekad akan mempertahankan status kedudaannya dan mencoba untuk hidup dalam dunia kerohanian. Tetapi tiba-tiba porak porandalah niatnya. Ketika Sentanu sedang santai di tepi sungai Jamuna bertemulah ia dengan seorang gadis yang cantik cemerlang tak ubahnya bidadari dari kahyangan, Durgandini namanya. Ia putri dari negeri Wirata, dahulu bernama Lara Amis yang dikarenakan badannya berbau amis. Setelah penyakit Lara Amis dapat disembuhkan oleh Palasara, berganti nama Setiawati atau Satayojana. Oleh Prabu Sentanu dipinanglah dewi itu untuk menjadi permaisurinya dan pengasuh putranya. Tetapi jawab sang Dewi:

“Saya bersedia menjadi permaisuri paduka yang mulia, tetapi putra lelaki yang saya lahirkan harus dinobatkan menjadi raja sebagai pengganti paduka”.

Kendatipun sang Prabu tergila-gila oleh asmaranya yang meluap-luap, namun Sentanu bungkam seribu bahasa. Ia selalu ingat putra tunggalnya sang Dewabrata. Ketika sampai di istana, Dewabrata melihat ayahnya yang murung, sedih karena tak berhasil mempersunting gadis cantik itu, maka Dewabrata datang bersujud dan bersumpah di hadapan ayahandanya.

”Hamba berjanji, ”demikian Dewabrata: “bahwa hamba akan rela menyerahkan tahta kerajaan Astina untuk putra yang dilahirkan oleh ibu ini dengan ayahandaku, demi untuk kepentingan negara dan raja yang akan melanjutkan keturunan kita”.

Benar-benar terjadi, bahwa anak mengawinkan bapak. Mulai saat itulah Dewabrata bernama Bisma yang berarti patuh kepada sumpah, teguh memegang janji dan berani melaksanakannya tanpa syarat. Dan ternyata dari perkawinan itu lahirlah dua orang putra bernama Citranggada dan Wicitrawirya, yang kemudian benar juga mereka naik tahta kerajaan Astina silih berganti. Namun malang, kedua putra mahkota tersebut meninggal,  karena perang dalam usia muda tanpa menurunkan seorang putrapun sebagai penggantinya, sebagai raja Astina.

Setyawati mengharap agar Bisma bersedia mengawini kedua janda itu dan naik tahta kerajaan Astina. Tetapi dengan tegas Bisma menolak karena ia telah bersumpah akan menjadi Brahmacarya (wadat) dan menyarankan agar Abiyasa putra dari Setyawati dengan begawan Palasara saja yang menggantikan tahta adiknya dan sekaligus mengawini Ambika dan Ambalika.

Atas permintaan Setyawati, maka Abiyasa yang waktu itu sedang bertapa di Sapta Arga turun ke Astina memenuhi permintaan ibunya. Ia sanggup naik tahta dampar Astina hanyalah untuk menyambung keturunan dan bukan untuk seterusnya menjadi raja. Pendek kata lahirlah dari Ambika bayi yang cacat buta sejak lahir bernama Destrarastra, sedang dari Ambalika lahir Pandu. Pandu cacat, tidak dapat menoleh dan pucat wajahnya sejak dilahirkan. Ternyata dari kedua keturunan mereka kelak bertengkar berebut tahta sampai musnah salah satu.

Siapakah sebenarnya yang menjadi penyebab perang Baratayuda yang penuh dengan kekejaman itu? Abiyasakah? Atau Bismakah? Apapun kata orang, tetapi faktanya bicara, andaikata Bisma naik tahta, atau Abiyasa mau terus naik tahta, mestinya tidak akan ada perang antara Pandawa dan Kurawa. Apapun alasannya, perang adalah kejam, menderitakan kedua belah pihak, baik yang menang, maupun yang kalah.

Dimanakah letak darah Bharata kalau yang perang itu Kurawa dan Pandawa? Apa tidak sebaiknya Bharatayuda diganti dengan Wiratayuda (perang keturunan Wirata) atau Saptarenggayuda (perang darah Saptarengga). Inilah persoalan baru bagi ahli dan pecinta wayang.

Silakan untuk direnungkan dan diulas.
  

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters