Rabu, 25 Mei 2011

DEWI LARA AMIS BERKAKEK GUNUNG DAN MEMPUNYAI IBU IKAN BETINA

Apa dan siapakah sebenarnya Dewi Lara Amis? Cerita tentang Lara Amis ini penuh dengan transendental, simbolis dan religius. Tetapi untuk kali ini hanya akan kami ceritakan dahulu apa adanya, yaitu menurut versi Adiparwa karya Prabu Dharmawangsa Teguh Hananta Wikrama raja Kediri (991-1007) yang pernah diulas oleh Dr. Hazeu, Dr. Kern, dan Dr. Juyn Boll.

Tersebutlah seorang raja berdarah Kuru, Basuparicara namanya. Istananya terletak di Cediwisaya. Ketika ia sedang bertapa ia mendapat anugerah sebuah kereta sakti “Amarajaya” dan Jimat Sakti, sehingga ia dapat berbicara dan mengerti bahasa binatang. Kira-kira kalau di dalam cerita Kancil seperti halnya dengan nabi sulaiman.

Di komplek istananya mengalirlah sebuah sungai Suktimati namanya. Sebuah sungai besar, jernih, sejuk dan berhulu di gunung Kolagiri. Gunung Kolagiri jatuh cinta kepada sungai Suktimati, ia memperkosanya dan menyebabkan sungai tersebut berhenti mengalir. Dari perhubungan ini lahirlah dua orang “Gedana-gedini”. Anak yang laki-laki bernama Basuprada dan wanita bernama Girika yang cantik, mulus dan molek parasnya. Sangat aneh bukan? Gunung kawin dengan sungai melahirkan manusia.

Betapa murkanya Prabu Basuparicara setelah tahu bahwa penyebab tidak mengalirnya sungai Suktimati adalah gunung Kolagiri. Maka disingkirkanlah gunung tersebut dari muka bumi dan beliau menemukan kedua anak itu. (Jadi walaupun belum ada buldozer, pembangunan dengan meratakan gunung sudah mulai sejak zaman kerajaan Kediri). Kedua anak itu dibawa ke Istana dan diasuh oleh Sri Baginda. Setelah Basuprada menjadi dewasa diangkat menjadi panglima perang, sedang Dewi Girika menjadi permaisurinya.

Di kala Sri Baginda sedang berburu di tengah-tengah hutan melihat bunga yang beraneka warna, harum semerbak baunya sangat menyentuh inti perasaannya, sehingga membangkitkan nafsu birahinya. Maka ingatlah sang Prabu akan kecantikan Girika. Seolah-olah rasanya ia sedang di peraduan bersama permaisurinya. Karena asyiknya berkhayal, sehingga keluarlah “kamanya”, jatuh di atas selembar daun. Maka dipanggillah seekor burung elang Syena namanya. Burung tersebut diutus membawa “kamanya” kepada permaisurinya (Girika). Malang di tengah jalan Syena diserang seekor burung elang lain, yang ingin merebut daun yang dibawanya. Daun tersebut koyak, “kama” sang Prabu Basuparicara jatuh ke sungai Jamuna dan ditelan seekor ikan betina. Pendek kata ikan kemudian menjadi hamil.

Waktu itu sang Prabu belum sempat membangun jembatan, maka setiap orang yang ingin menyeberang sungai Jamuna, harus memakai perahu dayung. Kalau sekarang kira-kira ferry, namanya. Tukang mencari ikan dan mendayung perahu yang pekerjaannya menyeberangkan orang di sungai Jamuna tersebut bernama Dasabala. Ikan betina itu tertangkap olehnya. Ketika ikan tersebut akan disembelihnya, menangislah ikan itu sambil menceritakan apa sebenarnya yang terjadi atas dirinya. Pendek kata ikan kemudian melahirkan dua orang putra, yaitu seorang laki-laki yang gagah perkasa bernama Matsyapati (kelak akan menjadi raja Wirata) dan seorang wanita bernama Lara Amis atau Durgandini atau Gandawati atau Masutaganda yang berarti bau yang kurang sedap. Sedangkan ikan betina tersebut berubah wujudnya menjadi seorang bidadari yang kemudian kembali ke kahyangan setelah bebas dari masa hukumannya karena kutukan dewa. Kedua anak tersebut diserahkan ke hadapan sang Prabu Basuparicara dan baginda menginsyafi dan menyadari, bahwa “kama” yang dibawa oleh elang Syena memang benar-benar atas perintahnya, maka kedua anak tersebut diakui sebagai putranya dan diasuh dan dibesarkan sebagai layaknya putra raja. Tetapi karena penyakit yang diderita oleh Lara Amis, maka Lara Amis tersebut dikembalikan kepada Dasabala. Ia kemudian menggantikan pekerjaan ayah angkatnya, yaitu menyeberangkan orang yang hendak melintasi sungai Jamuna.

Jadi “pengemudi wanita” kapal tambang itu sejak zaman Kediripun sudah ada. Dan begitulah hidup. Hidup adalah lakon. Lakon itu agar supaya tercapai harus dilakukan. Artinya lakon Durgandini yang digubah oleh seorang pujangga Kediri sebagai wanita yang nantinya akan menjadi wadah dari benih (wiji) satria besar sepanjang masa yaitu Abiyasa dan Pandawa, haruslah berani menatap hidup dan menjalani realitas hidupnya dengan penuh pengorbanan. Jalan menuju ke kemudian tidaklah berhamburan bunga yang harum semerbak. Tetapi gawat, terjal dan penuh hambatan. "Jer basuki mawa Bea” (bila akan selamat, bahagia, harus ada biaya/pengorbanan). Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.

Siapakah Abiyasa itu? Marilah kita ikuti kisah selanjutnya.
  

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters