Pada suatu sore, matahari sedang terbenam, Prabu Yayati melamun sambil melihat kelelawar-kelelawar yang keluar dari pucuk-pucuk daun pisang. Ia memanggil putra bungsunya. Setelah Puru menghadap berkatalah Prabu Yayati:
“Oh putraku Puru, ternyata engkau satu-satunya putraku yang telah mengorbankan milikmu yang paling berharga hanya demi kebahagiaan ayahmu. Oh anakku sayang, ternyata hawa nafsu, nafsu angkara, nafsu-nafsu birahi, nafsu-nafsu syahwat, tidak akan pernah puas kalau hanya dengan melampiaskannya. Nafsu yang dibiarkan menjalar, ternyata bukan makin padam, tetapi justru makin berkobar. Laksana bola salju, makin digulung dan makin jauh berguling makin besar. Kini aku tahu, bahwa dengan melampiaskan hawa nafsu, tidak membawa kedamaian hidup. Ternyata kedamaian hanya dapat dicapai dan diterima, dengan jalan cinta kasih dan keseimbangan jiwa, yang semestinya saya lakukan sejak dahulu. Seperti orang bijak mengatakan:
“Hendaknya dengan tulus ikhlas menerima nasib. Kedua, jika mengalami kehilangan tanpa menyesal, menerima dengan kesabaran hati apabila menghadapi gangguan, bahkan dihina sekalipun. Dan ketiga, dengan rela dan rendah hati menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha esa”.
Itulah jalan yang paling bahagia. Bagiku sekarang hanyalah menyingkiri, dapat menahan dan memusnahkan hawa nafsu-nafsu jahatku. Itulah suatu jalan yang akan kutempuh, agar aku dapat hidup damai dan mendapat Rahmat Tuhan. Karena itu, oh Puru: Ambillah kembali ke-“muda”-anmu dari diriku dan sekarang perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana adil paramarta, agar rakyatmu patuh, setia.”
Prabu Yayati memeluk anak bungsunya (Puru) untuk menerima kembali ketuaannya. Dan saat itu juga, Prabu Yayati menyerahkan kembali kemudaannya kepada putranya.
Beberapa waktu kemudian Prabu Puru dinobatkan menjadi Raja di Astinapura. Dan Raja Puru inilah yang nantinya menurunkan bangsa Puru atau bangsa Kuru yang kemudian menurunkan Kurawa. Kelak Prabu Puru mempunyai putra bernama Dusmanta. Prabu Dusmanta kawin dengan Sakuntala kemudian melahirkan Bharata. Dan Bharata inilah nantinya akan melahirkan keluarga besar Bharata atau Maha Bharata.
Bharata menurunkan Kuru, Kuru menurunkan Pratipa, Pratipa menurunkan Sentanu, Sentanu menurunkan Bisma.
Nah, sekarang kiranya menjadi jelas, bahwa menurut versi Maha Bharata pemilik negara Astina itu ialah Prabu Nasuha, Prabu Yayati, Puru, Dusmanta, Bharata, Kuru, Pratipa, Hasti, Sentanu, sampai kepada Bisma.
Sedangkan menurut versi kitab Pustaka Raja Purwa, bahwa pemilik dan pencipta kerajaan Astina adalah Palasara, Abiyasa, Pandu, Duryudana dan Yudistira kemudian Parikesit.
Inilah manusia hidup. Menurut anthropologia (filsafat manusia), bahwa manusia hidup itu terdiri atas jasmani (raga) dan rohani (jiwa) serta dilengkapi dengan lima nafsu yaitu: amarah, sufiah, aluamah, mulhimah, dan mutmainah. Atau cairan yang mengalir pada badan manusia itu ada lima macam yaitu: darah merah, kuning, hitam, hijau dan putih. Yang ideal kalau jumlah nafsu-nafsunya itu (harus) seimbang. Sebab kalau banyak darah merahnya, manusia akan menjadi pemarah, serakah dan rakus. Begitu pula sebaliknya kalau banyak darah putihnya akan menjadi orang suci sedang negatifnya akan menjadi fatalis (menerima apa saja adanya tanpa berusaha).
Karena manusia itu juga terdiri dari unsur jasmaniah, yang perlu juga makan. Namun dalam menghadapi makan perlu mempunyai sifat distansi (jarak) dan moderasi (menguasai diri). Pendeknya ada aturannya, tidak asal makan. Makan untuk hidup, supaya sehat, maka hidup itu perlu dan harus makan, namun hidup bukan untuk makan.
Jelasnya, lihat binatang, pada waktu makan. Binatang itu selalu tergesa-gesa dan hanyut serta tenggelam dalam makanan, akhirnya dia juga dimakan (dikuasai) oleh makanan. Ia membabi buta, seperti besok tidak ada hari lagi. Dan sambil menggeram menyengkeram makanannya, bahkan apabila ada yang mendekat dan mengganggu, dia akan menyerang.
Sedangkan manusia tidaklah demikian. Kita memiliki sopan santun dan cara makan, karena itu sungguh tepat kalau wulangreh memberi petunjuk:
“Latihlah dirimu agar supaya menjadi cerdas, tahu diri dan waspada. Jangan hanya hanyut menuruti nafsu perut (makan) dan nafsu tidur. Tetapi usahakan “watak perwira” ini dengan jalan mencegah (mengurangi) nafsu perut (makan) dan nafsu tidur”.
Nah, begitulah kira-kira maksud dari nenek moyang yang sudah tahu akan bahaya yang akan datang. Bila manusia terlalu bebas tanpa batas dalam memenuhi kebutuhan jasmani dan lahiriah. Makin dilampiaskan nafsu jahatnya, makin berkobarlah nafsu-nafsu itu membakar musnah hidupnya sendiri. Sekarang marilah kita teruskan kisah Sakuntala sampai Pandawa dan Kurawa.
0 komentar:
Posting Komentar