Siapakah sesungguhnya nenek moyang Kurawa dan Pandawa?
Hingga sekarang tidak banyak orang yang mengetahuinya dengan pasti, karena memang banyak versi mengenai cerita itu. Dalam “bahasa Indonesia”, kita mengenal cerita: Pandawa Jaya, Langlang Buana, Pandawa Lima, itu semua aspek dari cerita wayang Kurawa dan Pandawa. Akan tetapi dalam cerita-cerita itu tidak disebutkan asal usul Kurawa dan Pandawa.
Menurut kitab Mahabarata, pendiri kerajaan Astina yang menjadi sengketa antara Pandawa dan Kurawa itu ialah Prabu Nasuha. Ia mempunyai putra bernama Prabu Yayati. Yayati adalah seorang pria yang tampan dan sakti. Ia memerintah wilayah kerajaan Astina penuh arif dan bijaksana, selalu bertakwa kepada Tuhan Yang Maha esa.
Prabu Yayati mempunyai seorang permaisuri bernama Dewayani, anak pendeta Resi Sukra. Dewayani mempunyai dayang-dayang bernama Sarmista. Walaupun ia hanya seorang pengiring, namun ia cakap lagi cantik, sehingga banyak orang yang tertarik kepada kecantikan Sarmista itu.
Pada suatu hari sang Prabu Yayati ketahuan sedang berbuat serong dengan dayang-dayang Sarmista. Perbuatan menyeleweng itu juga diketahui pula oleh permaisur Dewayani, sehingga dalam istana terjadilah keributan.
Dewayani menjerit, menangis sambil menutup muka, lari mencari ayahnya, Resi Sukra, untuk melaporkan kejadian itu. Resi Sukra orang yang dapat menahan emosi, tetapi batinnya mengucapkan kutukan yang sangat menakutkan. Berkatalah resi Sukra kepada Prabu Yayati:
“Wahai sang Maha Raja, tuanku Prabu Yayati. Ternyata paduka telah kehilangan kehormatan pusaka, kemegahan, bahkan keremajaan paduka.”
Bukan main ampuhnya kutuk Resi Sukra. Seketika itu juga Prabu Yayati yang semula tampan dan gagah perkasa itu, tiba-tiba menjadi seorang tua, keriput dan cekung pipinya. Yayati menerima kutuk tersebut, jatuh tertelungkup menangis dan bersujud memohon ampun kepada Resi Sukra. Tetapi apa jawabnya:
“Wahai paduka yang mulia, Maha Raja Yayati. “Kutuk Pastu” itu tidak bisa dibatalkan, kecuali ada seorang yang mau menukar ketuaanmu dengan kemudaannya”.
Benar-benar remuk redamlah hati Sang Prabu. Ia tertimpa perasaan cemas, ngeri dan hina. Ia masih menginginkan kebirahian, kemewahan dan kekuasaan. Karena itu dipanggilnya kelima anaknya laki-laki, katanya:
“Hai anak-anakku, aku masih ingin kekuasaan, kemudaan, kebirahian, kemegahan. Karena itu salah seorang dari kamu semua, harus memikul penderitaanku dengan cara mengambil ketuaanku dan memberikan keremajaanmu kepadaku.”
Setelah putra-putranya mendengar permintaan ayahnya, mereka sangat terkejut. Bahkan yang tertua dengan lantang menjawab:
“Oh, ayahanda, hambapun masih ingin menikmati keremajaan, kalau hamba menjadi tua, siapa gadis yang mau mendekati diri hamba? Coba saja tanyakan kepada adik-adik hamba, betapa ayahanda lebih mencintai mereka daripada diri hamba.”
Maka tibalah anak yang kedua, ketiga dan keempat semua sama jawabannya. Semua menolak untuk menjadi tua. Sekarang tinggal putranya bungsu (yang kelima) bernama “Puru”. Putra bungsu inilah yang tak sampai hati melihat penderitaan ayahnya, maka sambil bersujud ia berkata:
“Oh ayahanda Raja Agung Binatara di Astina, hamba dengan senang hati memberikan kepada ayah kemudaan hamba, agar ayahanda bebas dari penderitaan dan cengkeraman segala kepedihan, ayahanda berkuasalah dan berbahagialah memerintah di negeri Astina.”
Dengan tanpa berkata, Prabu Yayati meloncat dan memeluk sambil menciumi putranya. Dan begitu ia menyentuh anaknya, saat itu pula ia menjadi muda belia pulih seperti sedia kala. Sedangkan putra bungsu “Puru” berubah menjadi seorang tua bangka, keriput dan bongkok tak sesuai sama sekali dengan usianya.
Pendeknya Prabu Yayati kembali menikmati hidup keremajaan dan melampiaskan amarah dan hawa nafsunya. Tidak itu saja, ia membuat haram dan berpesta pora hampir setiap malam. Bertahun-tahun ia telah melampiaskan hawa nafsu dan sifat angkara murkanya, namun demikian, Prabu Yayati tak dapat mencapai kepuasan juga.
0 komentar:
Posting Komentar