Kamis, 13 Oktober 2011

SEORANG MENTERI YANG LALIM

Pada suatu desa di dalam negeri Bagdad adalah diam seorang menteri yang terlalu jahat perangainya. Ia tiada boleh melihat anak bini orang yang baik rupanya. Jikalau tampak olehnya, niscaya diambilnya jua. Demikian laku menteri itu, dan apabila ia membeli barang-barang orang, tiada pernah ia membayar harganya. Sekalian orang di dalam desa itu takut kepadanya. Kemudian terdengar kepada Abu Nawas perbuatan menteri yang terlalu lalim itu. Bukan main panas hati Abu Nawas. Maka katanya dengan sendirinya, “Jikalau belum mati menteri itu,” belum aku pulang dari desa itu.”
 
Setelah itu ia pun pergilah ke tempat menteri itu. Sesampai ke situ, maka dicarinya rumah orang yang dekat ke rumah menteri itu. Ia pun minta tinggal disana, supaya dapat diketahuinya segala pekerjaan menteri khianat itu. Beberapa lamanya ia tinggal di situ, ia pun dapat berkenalan dan bersahabat dengan menteri itu. Tandang bertandang tak ada batasnya, sehingga menteri itu tiada takut dan gentar lagi mengabarkan rahasianya kepada Abu Nawas. Di dalam rumah menteri itu kelihatan oleh Abu Nawas ada sebuah gantungan. Jikalau ada orang yang salah, lalu dinaikkan oleh menteri itu ke gantungan itu, kepalanya ke bawah dan kakinya ke atas. Dan orang itu pun dipukulnya sampai mati. “Benarlah seperti kata orang itu,” kata Abu Nawas di dalam hatinya. “Nantilah, aku balas juga perbuatannya yang lalim itu!”
Suatu hari Abu Nawas berjalan-jalan. Maka ia pun bertemu dengan seorang-orang muda yang baik rupanya, ia membawa seekor lembu, yang terlalu gemuk. Maka kata Abu Nawas kepada orang itu, “Hai, orang muda, bagus betul lembumu ini, maukah engkau menjualnya?”
Jawab orang itu, “Tiada hamba jual lembu ini, karena lembu ini pusaka bapak hamba.”
Kata Abu Nawas pula, “Bukantah lebih baik engkau jual. Jikalau dapat harga yang mahal, boleh uang itu engkau perniagakan, lama-kelamaan menjadi banyak.”
Pikir orang muda itu, “Benar pula kata orang ini, lalu katanya, “Baiklah, tetapi hamba hendak mengabarkan kepada ibu hamba dahulu. Kalau ibu hamba suka, hamba juallah.”
Jawab Abu Nawas, “Itulah yang terlebih baik.”
Syahdan orang muda itu pun pergilah pulang mendapatkan ibunya akan mengabarkan percakapannya dengan Abu Nawas tadi itu. Sepeninggal orang itu, Abu Nawas berkata dengan sendirinya, “Langkah baik sehari ini. Orang muda itu cakap rupanya, boleh kupergunakan akan menewaskan menteri yang lalim itu. Tunggulah, hai, menteri, ada bagianmu kelak.”
Sejurus antaranya orang muda itu pun datang pula kembali mendapatkan Abu Nawas. Setelah bertemu, maka katanya kepada Abu Nawas, “Ibuku mengizinkan dijual lembuku ini.”
Jawab Abu Nawas, “Baiklah, tetapi lebih baik kukatakan terus terang kepadamu, adapun yang akan membeli lembumu ini bukan aku, melainkan menteri yang lalim itu. Berapa harganya yang pasti? Katakanlah! Sudah itu ada perjanjian yang kuharapkan daripadamu, jikalau sudah putus harganya, maukah engkau menurut petunjukku?”
“Mau,” jawab orang muda itu.
“Baik,” kata Abu Nawas, “Sekarang ini engkau bawalah lembumu ini ke kebun itu! Nantikan aku disana, sebentar aku datang. Aku hendak pergi ke rumah menteri itu!” lalu ia berjalan dan orang muda itu pun pergilah ke tempat yang ditunjukkan Abu Nawas itu.
Setelah sampailah Abu Nawas ke rumah menteri itu, maka katanya, “Hai, menteri! Ada seorang orang muda mempunyai seekor lembu yang terlalu gemuk dan bagus rupanya. Jika Tuan hamba suka, boleh Tuan hamba beli dengan harga yang patut. Tidak mahal! Marilah kita pergi melihat ke dalam kebun itu!”
Demi didengar oleh menteri itu perkataan Abu Nawas yang demikian, bukan buatan sukacitanya. Ia pun berangkat bersama-sama dengan Abu Nawas ke tempat itu. Setelah sampai, dilihat oleh menteri sungguh ada lembu seperti kata sahabatnya itu. Binatang itu pun lalu ditawarnya, katanya, “Berapa harganya?”
Jawab orang muda itu, “Lima puluh ringgit.”
Kata menteri itu pula, “Tiada boleh kurang lagi?”
Jawab orang muda itu, “Karena lembu ini pusaka, mau lima puluh ringgit boleh menteri ambil, jikalau tiada mau, ya sudah.”
Maka pikir menteri itu. “Baiklah. Akan kubayar harganya.”
Setelah putus bicaranya, Abu Nawas pun pergi pura-pura hendak buang air ke tempat lembu itu, lalu diputusnya talinya, lembu itu pun larilah. Oleh orang muda itu diunjukkanlah tali lembu itu kepada menteri itu. Maka ditariknya tali itu, tetapi . . . kosong.
Dalam pada itu orang muda itu menagih harga lembunya itu, serta katanya, “Mana harganya? Bayarlah!”
Kata menteri itu, “Manakah engkau punya lembu, hanya talinya saja? Bagaimana aku hendak membayar harganya? Tidak, aku tiada mau membayar. Masa talinya saja lima puluh ringgit!”
Maka jadi berbantah-bantahlah kedua orang itu. Kata orang muda itu pula, “Aku minta harga lembuku itu. Jikalau Tuan hamba tiada mau membayar, pulangkan saja binatang itu kepadaku.”
Jawab menteri itu, “Apa yang akan kubayar dan apa yang akan kupulangkan? Hanya talinya kautunjukkan kepadaku. Ambillah, inilah tali itu, apa gunanya kepadaku!”
Kata orang muda itu pula, “Tiada lain pekerjaan engkau melainkan menipu, menganiaya orang saja! Terlalu lalim, mau makan darah orang kecil.”
Perkataan itu tiada didengarkan lagi oleh menteri itu, melainkan ia berjalan pulang ke rumahnya.
Akan orang muda itu pun amat susah hatinya, karena lembunya hilang dan uangnya tiada dapat. “Sudahlah demikian untungku ini, apa boleh buat,” keluhnya.
Setelah hari malam Abu Nawas pun datang ke rumah orang muda itu. Maka katanya, “Sudahkah engkau terima harga lembumu itu?”
Jawab orang muda itu, “Hamba ini kena perdaya rupanya kepada menteri itu. Lembuku hilang, uang pun tiada dapat, karena perbuatannya yang celaka itu.”
Kata Abu Nawas, “Coba kau ceritakan kepadaku bagaimana kesudahan perihal berjual beli itu. Aku tak tahu, sebab aku bukanlah lekas-lekas saja berjalan. Pada pikiranku tentu sudah selesai.”
Maka diceritakanlah oleh orang muda perihal itu dengan susah hatinya.
“Oh, begitu!” kata Abu Nawas. “Jangan engkau bersusah hati! Insya Allah taala jikalau orang muda mau menerima harga lembu itu, boleh kaudapat. Dengarlah! Esok malam engkau pakai pakaian cara perempuan dan engkau pakai pula bau-bauan yang harum. Engkau pergi berjalan-jalan dekat-dekat rumah menteri itu. Karena menteri itu tiada boleh melihat perempuan muda yang cantik rupanya, maka jika tampak engkau olehnya, niscaya engkau ditariknya ke rumahnya. Nah, bila engkau telah sampai ke muka rumah menteri itu, engkau pura-pura kena duri kakimu dan mengaduh sedikit dengan suara yang halus, seperti suara seorang perempuan. Niscaya suaramu itu terdengar kepadanya dan ia pun tentu mendapatkan engkau. Lalu engkau berjalan sedikit dengan pincang kakimu. Jikalau ia bertanyakan apa sebabnya engkau berhenti tadi itu, engkau jawab, bahwa engkau membuangkan duri dan jika engkau hendak ditariknya masuk ke dalam rumahnya, engkau katakan, bahwa engkau takut kepada anak bininya serta hamba sahayanya. Lagi pula katakan, engkau malu masuk. Dengan segera tentu menteri itu pergi menyuruh keluar sekalian isi rumahnya. Sudah itu masuklah engkau. Apabila engkau naik ke atas rumah menteri itu, maka pura-pura engkau tanyakan tali apa yang tergantung di tengah-tengah rumahnya itu. Tali itulah gantungan. Jikalau ia mengajak engkau hendak tidur, engkau minta dahulu keterangan, bagaimana mempergunakan gantungan itu. Dan katakan, “Jika sungguh-sungguh Tuan hamba bercintakan hamba ini, Tuan hamba cobalah dahulu bergantung barang sebentar, karena hamba seumur hidup belum pernah melihat yang demikian.”
Niscaya diturutnya katamu itu! Bilaman ia sudah tergantung, kepalanya ke bawah dan kakinya ke atas, engkau pukul dia sungguh-sungguh dengan kayu pementung, sampai mati sekali. Sebelum mati, jangan engkau berhenti dan jikalau sudah mati, boleh engkau ambil harta menteri itu seberapa sukamu. Menjadi kayalah engkau.”
Keesokan malamnya, kira-kira pukul tujuh, kelihatanlah seorang perempuan yang cantik parasnya berhenti pura-pura membuangkan duri di muka rumah menteri yang lalim itu. Adapun menteri itu pada masa itu sedang berjalan-jalan dekat-dekat di situ. Tatkala terpandang olehnya perempuan itu, lalu ia berkata, “Hai, Adinda, dari mana datang ini?”
Maka jawab perempuan itu dengan kemalu-maluan rupanya, sambil berjalan dengan pincang kakinya, “Hamba ini orang desa. Tadi hamba berjalan dengan kaki hamba. Tiba-tiba kaki hamba kena duri, jadi hamba berhenti membuangkan duri itu. Laki hamba terus berjalan juga. Sekarang ini entah ke mana perginya, hamba tak tahu jalan pulang lagi,” lalu ia pura-pura hendak menangis.
Kata menteri itu, “Jikalau Adinda suka, boleh hamba bawa ke rumah hamba dahulu, di situ nantikan laki Adinda itu. Siapa tahu, barangkali ia sekarang mencari Adinda dan niscaya ia sampai juga ke sini kelak. Marilah, jangan takut kepada kakanda ini!”
Kata perempuan muda itu, “Hamba takut kepada bini serta hamba sahaya Tuan hamba sekalian.”
Kata menteri itu pula, “Jika demikian baiklah Adinda menanti di tempat ini dahulu, jangan pergi ke mana-mana, boleh kakanda suruh pergi anak bini kakanda ke rumah ibunya beserta dengan budak-budak itu.”
Jawab perempuan itu, “Baiklah.”
Maka menteri itu pun pulang tergopoh-gopoh ke rumahnya, lalu berkata kepada istrinya, “Hai, Adinda, sekarang ini baiklah Adinda pergi ke rumah ibumu, karena Adinda sudah lama tiada mengunjungi beliau itu.”
Jawab istrinya, “Jika demikian kata Kakanda, “Baiklah.” Maka berjalanlah ia beserta hamba sahayanya sekalian.
Setelah itu menteri itu pun keluar pula mencari perempuan muda tadi itu. Kebetulan ia masih berdiri di tempat itu juga. Maka kata menteri itu kepadanya, “Hm, Adinda, sekarang ini boleh Adinda masuk ke rumah hamba, karena bini hamba serta budak-budak sekalian sudah pergi, tak seorang pun juga di rumah lagi.”
“Baiklah,” jawabnya, sambil berjalan mengikuti menteri itu. Tatkala ia sampai ke dalam rumah menteri itu, tampaklah olehnya tali gantungan seperti yang diceritakan Abu Nawas kepadanya, maka dilakukannyalah sekalian petunjuk Abu Nawas itu.
Demi didengar oleh menteri itu perkataan perempuan muda yang manis seperti madu itu, maka pikirnya di dalam hatinya, “Sebab aku suka akan perempuan ini, aku turutlah apa-apa katanya.” Kemudian katanya, “Adinda pegang tali gantungan itu teguh-teguh, jangan dilepaskan!”
Kata perempuan itu, “Baiklah!”
Maka menteri itu pun memasukkan badannya ke dalam tali gantungan itu. Setelah itu lalu dilepaskan tali itu oleh perempuan itu. Maka tergantunglah menteri itu, kepalanya ke bawah dan kakinya ke atas. Ia pun dipukuli oleh orang itu dengan pementung, seraya katanya, “Hai, menteri, aku bukannya perempuan. Akulah yang punya lembu yang engkau perdayakan itu. Sekarang ini aku balaskan dendamku, aku minta harga lembuku itu. Ayuh, bayar, bayar!” Tam, tam, tam, bum, bum, bunyi pukulnya. Maka keluarlah darah dari mulut dan telinga menteri itu, sehingga ia tiada ingat lagi akan dirinya. “Nah, mati engkau . . .”
Oleh karena pada pikir perempuan samaran itu sungguh menteri itu sudah mati, ditinggalkannyalah dia tergantung. Barang-barangnya yang mana dapat dibawanya, diambilnyalah. Sudah itu pulanglah ia ke rumahnya.
Tiada berapa lama antaranya bini menteri itu pun berdebar-debar hatinya. Seperti ada suatu malapetaka yang terjadi atas kaum keluarganya. Maka pikirnya, “Apa juga gerangan yang tengah terjadi ini! Baiklah aku pulang ke rumahku dahulu!” ia pun berjalan dengan cepat.
Baru ia sampai ke dalam rumahnya, maka dilihatnya lakinya tergantung terayun-ayun dan harta bendanya habis. Maka ia pun menjerit-jerit menangis serta menghempas-hempaskan dirinya. Ketika tali gantungan itu dilepaskannya, dilihatnya napas lakinya itu masih ada, tinggal sekali-sekali maka diambilnya air mawar dengan segera dan dipercikkannya kepada badan dan muka menteri itu. Maka menteri itu pun siuman serta membukakan matanya. Dengan segera ia diberi air minum oleh istrinya, sambil bertanya disertai tangisnya, “Ya, Kakanda, apa sebabnya Tuan hamba jadi selaku ini!”
Mula-mula pertanyaan itu tiada disahuti oleh menteri itu, karena ia belum dapat berkata-kata. Akan tetapi lama-kelamaan ia pun bertambah-tambah ingat juga akan dirinya, lalu diceritakannyalah hal ihwalnya. Setelah itu ia pun jatuh sakit.
Demi didengar Abu Nawas khabar yang demikian, pergilah ia mendapatkan orang muda itu. Maka katanya, “Mengapa tiada engkau matikan dia sekali? Bukankah aku sudah berpesan, jikalau belum mati, jangan engkau tinggalkan dia? Sekarang ini harus engkau tambah penyakit menteri itu, supaya mati sekali.”
Kata orang muda itu, “Bagaimana akal hamba?”
Jawab Abu Nawas, “Engkau pakailah pakaian cara orang tua-tua, engkau kenakan sorban putih dan baju jubah dan bertongkat, lalu engkau pergi berjalan-jalan ke dekat rumah menteri itu, serta kaukatakan engkau dukun. Apabila didengar oleh menteri itu, niscaya engkau dipanggilnya masuk ke rumahnya akan mengobati dia, karena memang ia sekarang mencari-cari dukun juga. Engkau pun masuklah, lalu pura-pura engkau periksa badannya dan engkau tanyakan ini dan itu. Kemudian engkau suruh budaknya mencari daun kayu yang sukar sedikit. Jikalau ia sudah pergi, sebentar lagi engkau suruh pula budaknya yang tinggal mencari daun kayu yang lain , sudah itu suruh pula anak-bininya ke mana-mana, sampai habis segala isi rumah menteri itu engkau beri pekerjaan sekaliannya. Biar tinggal engkau seorang saja di dalam rumahnya itu. Dalam hal yang demikian engkau pukullah sisakit itu. Sebelum mati, jangan engkau tinggalkan dia, itulah pesanku kepadamu.”
Petunjuk Abu Nawas yang demikian itu diturut pula oleh orang muda itu. Dengan segera dikenakannya jubah panjang dan sorban putih dan dipegangnya sebuah tongkat, ia pun pergi berjalan-jalan ke dekat rumah menteri itu. Ketika kelihatan ia kepada budak menteri itu, maka budak itu pun bertanya,  “Hai, orang tua, siapakah Tuan hamba ini?”
Jawab orang tua itu, “Aku ini dukun, mengapa engkau tanyai aku di tengah jalan ini? Tiada patut orang muda berlaku begitu kepada orang tua seperti aku ini.”
“Maaf, Ya, Tuan hamba. Adapun hamba ini budak menteri anu. Ia sakit, jadi hamba disuruhnya mencari dukun. Jika Tuan hamba suka, silakan masuk ke rumahnya!”
Maka dukun itu pun naik, lalu duduk dengan takzimnya. Sebentar itu juga menteri yang sakit itu berkata kepadanya dengan perlahan-lahan, “Ya, Tuan Dukun, Tuan obatilah kiranya hamba ini, hamba sakit . . .” Suaranya tiada kedengaran lagi.
“Insa Allah,” jawab dukun itu, “Insya Allah dengan tolong Allah dapat juga hamba obati Tuan hamba ini. Akan tetapi bolehkah disuruh budak-budak itu mencarikan hamba suatu daun kayu dengan akarnya sekali? Daun itu terlalu sukar, tapi banyak gunanya.”
Menteri itu pun menyuruh budaknya dua tiga orang mencari daun kayu itu. Tiada berapa lama antaranya maka dukun ituberkata pula, “Ada lagi semacam daun kayu. Hamba lupa, boleh Tuan hamba suruh cari lagi.”
Maka berjalanlah pula budak menteri itu beberapa orang, habis semuanya, dan anak-bininya pun ada pula pekerjaannya ke rumah ibunya sebentar.
Setelah dilihat oleh dukun itu seisi rumah menteri itu sudah pergi semuanya, maka diambilnya kayu pementung lalu dipukulkannya beberapa kali kepada kepala dan badan menteri itu.
Keluar darah dari mulut dan telinganya.
“hai, Menteri,” katanya, “Tiada engkau tahu, aku ini bukannya dukun, melainkan orang yang punya lembu itu juga. Aku mengharapkan harganya.
Menteri itu pun pingsan, tiada sadarkan dirinya dan tiada bergerak-gerak lagi, bernafas pun tiada. Pada pikiran dukun itu, matilah sudah menteri itu. Ia pun berjalanlah tergesa-gesa, karena takut kalau-kalau isi rumah menteri itu telah pulang kembali. Di dalam hatinya, “Sekarang ini senanglah hatiku, karena menteri itu sudah mati.”
Kira-kira sejam kemudian daripada itu budak-budak dan bini menteri itu pun datang kembali dengan tangan hampa, daun kayu itu tiada didapatnya. Demi dilihatnya penyakit lakinya bertambah-tambah dan dukun itu tak ada lagi, maka cemaslah hatinya. Dengan segera air mawar disiramkannya ke mukanya dan diminumkannya air seteguk ke mulutnya. Lama baru menteri itu menarik nafas dan membukakan matanya. Tetapi ia belum dapat berkata-kata. Kemudian ia pun berkata juga dengan putus-putus suaranya, “Ya, Adinda, bukannya dukun orang tua itu, hanya orang yang punya lembu itu juga. Sekarang ini engkau mashurkan aku sudah mati dan engkau suruh panggil menteri dan orang-orang alim, engkau mupakat dengan mereka itu.
Setelah itu carilah sekerat batang pisang, bungkus dengan kain putih baik-baik, hingga seperti mayat benar rupanya, lalu kaumasukkan ke dalam usungan bersama-sama aku ini. Akan tetapi jika telah sampai ke kubur kelak, batang pisang itu saja yang akan ditanamkan dan aku . . . bawa pulang dengan usungan itu kembali. Demikianlah kau perbuat, supaya jangan datang lagi orang yang punya lembu itu! Nanti esok lusanya, jikalau aku sudah sembuh, akan kucari dia, aku balaskan dendamku kepadanya.”
Maka dikerjakanlah oleh perempuan itu seperti yang dikatakan lakinya itu.
Akan tetapi perbuatan pura-pura itu diketahui oleh Abu Nawas. Maka ia pun segera ke rumah orang muda yang punya lembu itu, lalu berkata, “Mengapa tiada engkau pukul dia sampai mati sekali?”
Kata orang muda itu, “Sudah mati dia, hamba pukul, sampai keluar darah dari mulut dan telinganya, dan ia pun tiada bergerak dan tiada bernafas lagi.”
Kata Abu Nawas pula, “Sekarang ini menteri itu masih hidup serta membuat tipu pura-pura mati . . .,” lalu diceritakannya segala tipu daya menteri itu. “Jikalau dibawa orang mayat itu, engkau ikuti sampai ke kubur bersama-sama dengan orang banyak itu. Nanti aku cari orang yang pandai melarikan kuda. Apabila sudah dekat ke lubang kubur itu, ia akan berteriak sekuat-kuatnya. “Akulah yang punya lembu.” Niscaya orang banyak itu pundatang memburu orang naik kuda itu. Maka tinggallah engkau seorang diri. Pada ketika itu engkau pukullahsungguh-sungguh menteri itu, biar mati sekali dan sampai patah-patah tulangnya. Jikalau menteri itu masih hidup, engkau tiada boleh duduk di dalam desa ini dan tiada senang hidupmu.”
Setelah perkataan itu dibenarkan oleh orang muda itu, maka Abu Nawas pun pergi mencari orang yang pandai melarikan kuda. Maka bertemulah ia dengan seseorang yang tangkas dan tegap tubuhnya, lalu katanya, “Hai, Saudara, maukah engkau kuupah naik kuda yang cepat larinya? Mau? Pergilah engkau berlindung dekat-dekat kubur menteri itu! Apabila jenazah itu sampai ke tepi lubang kubur itu, hendaklah engkau berteriak kuat-kuat demikian, “Akulah yang punya lembu!” sudah itu engkau larikan kudamu itu sekencang-kencangnya. Pergilah! Ini tiga ringgit.”
Syahdan pada keesokan harinya pagi-pagi diangkat oranglah mayat pura-pura itu ke kubur serta diiringkan oleh beberapa orang besar, penghulu dan orang alim dan kaum keluarga menteri itu sekalian. Baru sampai ke tepi kubur itu, kedengaranlah suara orang mengatakan, “Akulah yang punya lembu,” dan kelihatan orang itu melarikan kudanya.
Bukan main ributnya di pekuburan itu! Sekalian orang berlari mengejar orang yang berkuda itu. Demi dilihat orang muda akan hal yang demikian, maka didekatinyalah usungan menteri, seraya katanya, “Hai, Menteri, sekarang ini sampailah janjimu! Akulah yang punya lembu yang engkau aniaya itu. Sampai mati engkau, aku gasak disini. Tiada kutinggalkan nyawamu sedikit pun. Hem, engkau berbuat tipu demikian! Sekarang engkau terima baik-baik,” lalu dipukulnya menteri itu sekuat-kuatnya, sehingga hancur dan patah-patah tulangnya. Setelah dilihatnya sudah mati benar-benar menteri itu, maka ia pun berjalan pulang ke rumahnya.
Adapun akan orang yang naik kuda itu lama-kelamaan dapat juga disusul orang banyak itu, ditangkapnya beramai-ramai dan dibawanya pergi ke kubur menteri itu.
Setelah dibuka mereka usungan itu dan dilihatnya menteri itu sungguh-sungguh sudah mati, patah-patah tulangnya, maka jadilah menteri itu ditanamkan. Batang pisang itu dibuangkan saja.
Kemudian pulanglah sekalian orang itu masing-masing ke rumahnya dengan heran dan masgul hatinya. Akan orang yang melarikan kuda itu dibawa oleh anak menteri ke rumahnya, lalu ditanyainya, “Apa sebabnya engkau berteriak-teriak dan berkata. “Akulah yang punya lembu?”
Jawab orang itu, “Aku tiada tahu sebabnya. Hanya aku mendapat upah tiga ringgit berkata demikian.”
“Siapa yang mengupah engkau?”
“Abu Nawas.”
Maka dicarinya Abu Nawas oleh anak menteri itu. Setelah bertemu, maka katanya, “Hai, Abu Nawas, apa sebabnya engkau upah orang itu akan menganiaya bapakku?”
Jawab Abu Nawas, “Menganiaya bapakmu? Coba engkau berkata yang benar.”
“Benar, engkau suruh dia berkata, “Akulah yang punya lembu.” Jadi kami kejar dia, karena tiada lain yang menyebabkan sakit bapakku siang dan malam, melainkan orang yang punya lembu itu juga, bukannya penyakit dari Allah.”
“Begitu,” jawab Abu Nawas denga tersenyum-senyum, “Jadi tiada kau ketahui, bahwa orang yang punya lembu itu sudah dititahkan Allah akan berbuat demikian, sebab bapakmu terlalu lalim, penipu, penganiaya, pengisap darah orang kecil, pe . . .? Sudah , hai, anak menteri, jangan kau panjangkan perkara ini lagi, supaya engkau jangan dapat malu besar. Lebih baik engkau doakan dia, supaya dosanya itu mudah-mudahan diampuni Allah.”
Anak menteri itu pun diam, tiada berkata-kata lagi, sebab ia tahu akan segala kejahatan bapaknya itu. Maka pikirnya di dalam hatinya, “Sudah takdir Allah bapakku mati demikian!” lalu ia pulang ke rumahnya.
Adapun orang seisi desa itu, istimewa orang yang punya lembu itu, senanglah hatinya. Karena tak ada lagi orang yang berbuat lalim, lalu pergilah masing-masing melepaskan nazarnya ke kubur keramat. Akan hal Abu Nawas, kembalilah ia ke negerinya.
“Hajatku sampai sudah,” pikirnya, sambil berjalan agak cepat, “Siapa tahu, barangkali Sultan Harunurrasyid telah berhajatkan . . . daku pula. Dan aku sendiri pun amat rindu akan baginda itu.”

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters