Kamis, 13 Oktober 2011

ABU NAWAS DENGAN ORANG YAHUDI

Sesampai ke rumahnya, Abu Nawas bertanya kepada istrinya, “Hai, Adinda, adakah sultan bertanya-tanyakan daku ini?”
“Tidak. Ya, Kakanda, rupanya baginda sudah lupa akan kita ini.”
Abu Nawas berdiam diri.
Sekali peristiwa pada suatu hari ia pun berjalan-jalan di pasar. Maka bertemulah ia dengan seorang orang miskin. Orang itu dipanggil oleh Abu Nawas, katanya, “Hai, Saudaraku, hamba terlalu kasihan melihat engkau. Apakah pekerjaanmu?”
Kata orang miskin itu, “Hai, Tuan hamba, hamba tiada mempunyai pekerjaan. Sebab hamba tiada beruang sesen pun, bagaimana hamba boleh mencari. Tiap-tiap orang yang mencari hendaklah dengan modalnya.”
Kata Abu Nawas, “Hai, Saudaraku, jikalau Saudaraku suka, aku dapat mencarikan engkau modal untuk diperniagakan.”
Kata orang miskin itu pula, “Syukur, jika demikian kasih Tuan hamba akan insan yang hina ini.”
Kata Abu Nawas pula, “Nanti, esok pagi engkau datang ke sini, akan kuberikan modal itu kepadamu. Akan tetapi kita lebih dahulu harus berteguh-teguhan janji, yaitu engkau mengaku saudara kepadaku. Maukah begitu?”
Jawab orang miskin itu, “Baiklah.”
Setelah sudah bersalam-salaman, berjalanlah Abu Nawas meninggalkan orang miskin itu.
Ketika ia sudah sampai ke rumahnya kembali, maka ia pun berkata kepada bininya, “Hai, Adinda, pergilah engkau menghadap permaisuri raja yang bernama Sitti Zubaidah itu. Katakan kepadanya, bahwa lakimu, aku, Abu Nawas, telah mati malam tadi.
Jadi hajat engkau datang itu ialah hendak minta uang belanja, akan sedekah dan biaya si mati itu.”
Jawab bini Abu Nawas itu, “Jikalau demikian kehendak Kakanda, baiklah,” lalu ia pun berangkat masuk ke dalam istana Sultan Harunurrasyid. Setelah sampai ke hadapan Tuan Puteri itu, maka sembahnya dengan tangisnya yang amat sedih, “Aduhai, Tuanku, Tuan Puteri, apakah daya patik yang hina ini, karena suamiku Abu Nawas telah berpulang ke rahmatullah dengan sekonyong-konyong malam tadi. Dengan apa hendak patik biayai mayatnya? Dengan apa patik bersedekah, dengan apa minta selawat, sebab patik miskin!”
Demi siti Zubaidah mendengar tangis dan ratap demikian itu, bukan buatan sedih dan sayu hatinya. Istri Abu Nawas itu pun dibelai-belainya, sambil berkata dengan lemah lembut, “Hai, jangan menangis, apa boleh buat, harta Allah kembali kepada-Nya.” Akan belanja sekalian hal itu tak usah kautakutkan, ini kuberi uang,” lalu Siti Zubaidah berangkat pergi mengambil uang dari dalam lemarinya dua ratus dirham. Dan kemudian ia pun kembali pula mendapatkan bini Abu Nawas itu, seraya katanya, “Ambillah uang ini, bawalah pulang dan selenggarakan jenazah itu baik-baik.”
Setelah itu maka istri Abu Nawas pun pulanglah dengan suka citanya.
Adapun akan Abu Nawas, tatkala istrinya masuk menghadap permaisuri itu, ia pun pergi pula menghadap baginda di balairung, langsung menyembah serta dengan tangisnya. Maka kata baginda kepadanya, “Hai, Abu Nawas, apa sebabnya engkau datang serta menangis ini?”
Sembah Abu Nawas, “Patik minta ampun ke bawah duli Syah Alam! Adapun hamba Tuanku yang perempuan telah meninggal pada malam tadi dan patik ini sekarang tiada mempunyai uang akan belanja bakal selawat dan orang yang menggali kubur. Jika ada belas kasihan duli Tuanku . . .“
Maka baginda pun tahulah akan kehendak Abu Nawas itu, lalu diberi baginda dia uang dua ratus dirham. Setelah uang itu diterima oleh Abu Nawas, ia pun bermohon pulang ke rumahnya, lalu berangkat dan pergi dengan berlari-lari seperti orang yang sungguh-sungguh susah rupanya.
Kemudian masuklah baginda ke dalam istananya. Maka kata baginda kepada permaisurinya, “Aku tadi kasihan melihat Abu Nawas datang kepadaku serta dengan tangisnya minta belanja menyelenggarakan mayat bininya. Aku beri dia dua ratus dirham.”
Kata Tuan Putri, “Salah Kakanda, bukan bininya yang mati, melainkan Abu Nawas sendiri yang meninggal itu. Baru saja bininya datang kepada adinda mengatakan Abu Nawas berpulang itu.”
Kata baginda pula, “Adinda salah mengatakan Abu Nawas mati, baru ia pulang dari hadapan kakanda.”
Maka jadi berbantah-bantahlah kedua laki-istri itu. Kata baginda, bininya yang mati dan ujar permaisuri, Abu Nawas yang meninggal, sebab permaisuri baru memberikan uang dua ratus dirham ke tangan bininya itu sendiri. Kedua-duanya sama-sama kuat keterangannya. Kesudahannya Sultan Harunurrasyid pun berkata, “Sudahlah, tak guna berbantah lagi. Lebih baik marilah kita suruh periksa saja, supaya ketahuan salah benarnya.”
Maka baginda pun menyuruh seorang kepercayaannya melihat Abu Nawas serta bininya itu. Betulkah Abu Nawas yang mati, atau istrinyakah, atau kedua-duanya. Tiada berapa lama antaranya datanglah suruhan itu kembali, lalu menyembah kepada baginda dan permaisuri. Pada ketika itu kedua baginda itu tengah duduk di tempat tadi juga. Maka kata sultan kepadanya, “Hai, Biduanda, betapa penglihatanmu, siapakah yang mati?”
Sembah biduanda itu, “Ya, Tuanku Syah Alam, keduanya tiada kurang suatu apa-apa. Patik lihat kedua-duanya tengah duduk tertawa-tawa serta bersenda gurau, Tuanku.”
Demi didengar baginda dan permaisuri khabar yang demikian, heranlah keduanya memikirkan apa sebabnya Abu Nawas berbuat seperti itu. Dengan segera baginda bertitah kepada hambanya itu, “Hai, Biduanda, engkau panggil Abu Nawas sekarang ini juga.”
Maa hamba raja itu pun pergilah memanggil Abu Nawas. Serta sampai katanya, “Hai, Abu Nawas, Tuan hamba dipersilakan Yang Dipertuan ke istana.”
Abu Nawas sudah maklum akan panggilan baginda itu, lalu jawabnya, “Baiklah, pergilah engkau dahulu, sebentar aku datang . . .!”
Tatkala Abu Nawas sudah hadir di hadapan baginda, maka baginda pun bersabdalah kepadanya, “Hai, Abu Nawas, apa sebabnya engkau perdayakan kami, aku dan Tuan Putri. Katakanlah, aku mau tahu!”
Sembah Abu Nawas, “Ampun, Tuanku beribu-ribu ampun! Sebabnya patik berbuat yang demikian itu, karena saudara patik tiada mempunyai modal. Ia hendak berdagang. Jikalau patik katakan keadaan yang sebenarnya saja, masa duli Syah Alam mau mengurniai patik uang sebanyak itu. Patik membuat tipu kepada Tuanku, karena patik terlalu belas kasihan melihat saudara patik itu tiada mempunyai uang barang sesen jua pun. Sekarang lain tidak melainkan Tuanku mau memberi ampun ke atas batu kepala patik!”
Sabda baginda, “Baiklah. Aku ampuni sekali ini, tetapi jangan kauperbuat yang demikian sekali lagi!”
Setelah itu bermohonlah Abu Nawas pulang ke rumahnya. Keesokan harinya diserahkannyalah uang itu kepada saudaranya itu, serta katanya, “Nah, baik-baik kauperniagakan uang ini, mudah-mudahan bertambah banyak. Pada pikiranku lebih baik engkau pergi berdagang ke negeri lain, sebab di sini sekarang tiada mungkin dapat keuntungan.”
Enam tujuh bulan kemudian daripada itu terdengar khabar saudara Abu Nawas yang berdagang ke negeri lain itu, jangankan untung akan diperolehnya, pokoknya pun habis. Ada yang dilarikan orang, ada yang dicuri orang, dan ada pula piutangnya yang tiada dapat diterimanya. Akhirnya ia pun jatuh miskin pula, tak dapat minum dan makan lagi. Maka masuklah ia menjadi kuli dan makan gaji kepada seorang Yahudi.
Kata Yahudi itu kepadanya, “Engkau ini orang mana?”
Sahut orang itu, “Aku ini orang dari negeri lain. Asalnya hamba datang kemari, karena berdagang. Akan tetapi hamba rugi, sehingga habis modal hamba. Sekarang ini hamba masuk jadi kuli kepada Tuan hamba.”
Kata orang Yahudi itu, “Baik, jikalau mau aku gaji sebulan enam rupiah.”
Jawab orang itu, “Baiklah.”
Kata orang Yahudi itu pula, “Akan tetapi ada perjanjianku kepada engkau, “Jikalau engkau keluar tiada dengan suka hatiku, engkau bayar kerugian dengan dagingmu satu kati. Dan jikalau aku tidak suka lagi akan pekerjaanmu dan aku lepas engkau, maka kuberikan dagingku satu kati kepadamu.”
Setelah sudah berjanji demikian itu serta bertanda tangan, bekerjalah orang itu kepada orang Yahudi itu. Siang dan malam Yahudi itu memberi orang itu pekerjaan, tiada berhenti-henti, supaya ia tiada tahan dan boleh minta berhenti. Dari hari ke hari makin bertambah-tambah berat pekerjaannya itu. Akhirnya ia tiada tahan lagi, lalu berpikir di dalam hatinya, “Lebih baik aku keluar dari rumah Yahudi ini.” Maka pergilah ia mendapatkan Yahudi itu, akan minta keluar.
Kata Yahudi itu, “Baik, tapi ingat akan perjanjianku kepadamu, satu kati daging!”
Jawab orang itu, “Aku ingat. Apa boleh buat, sudah untungku akan mendapat bencana sedemikian.”
Sebentar itu juga diirislah daging orang itu satu kati oleh Yahudi itu. Setelah sudah, orang itu pun pergilah dengan kesakitannya. Ada kira-kira sebulan lamanya ia menanggung sakit, kemudian baru sembuh. Maka berjalanlah ia mencari kehidupan pula. Dengan takdir Allah ia pun bertemu dengan Abu Nawas kembali. Abu Nawas sangat terkejut melihat muka orang itu terlalu pucat dan badannya kurus. Dengan segera Abu Nawas berkata kepadanya, “Hai, Saudagar Muda, apa khabar? Banyak untung? Akan tetapi apa sebabnya mukamu kupandang berlainan dari dahulu? Sakitkah engkau?”
Dengan air mata yang berlinang-linang diceritakanlah oleh orang itu kepada Abu Nawas segala hal ihwalnya sejak dari permulaannya sampai kepada kesudahannya. Abu Nawas pun heranlah. Maka pikirnya di dalam hatinya, “Baiklah aku masuk jadi kuli kepada Yahudi itu. Aku takkan pulang. Jikalau belum aku balas kejahatannya itu. Sebab itu baiklah aku pergi ke negeri itu.”
Setelah sudah berpikir demikian itu, berkatalah ia kepada saudaranya itu, “Baiklah aku pergi kesana, Insya Allah boleh aku balas pekerjaan Yahudi itu. Akan tetapi engkau harus tinggal menjaga rumahku!”
Maka berjalanlah Abu Nawas ke negeri Yahudi itu. Beberapa lamanya di jalan, ia pun sampai ke sana, lalu pergi minta menjadi kuli kepada Yahudi itu. Ia pun diterima oleh Yahudi itu, dengan perjanjian seperti kepada saudaranya dahulu.
Mula-mula Abu Nawas bekerja siang dan malam tiada berhenti-henti, dan hasil pekerjaannya itu amat baik adanya. Akan tetapi antara tiga hari tiada betul lagi, lain harinya ia sudah berbuat sekehendak hatinya sendiri. Disuruh membakar roti, dibakarnya, akan tetapi bila sudah masak roti itu, dimakannya sendiri saja sampai habis.
Demi dilihat oleh Yahudi yang demikian itu, maka katanya kepada Abu Nawas dengan marahnya, “Hai, kuli, mengapa engkau bekerja dengan sesukamu sendiri saja?”
Jawab Abu Nawas, “Apa gunanya kaupedulikan pekerjaanku? Jikalau engkau tak tahan lagi, boleh engkau keluarkan aku. Akan tetapi ingat, dagingmu satu kati!”
Yahudi itu tiada terkata-kata lagi, maka di dalam hatinya, “Baiklah orang ini aku bunuh!” kemudian katanya, “Hai, kuli, jangan makan nasi itu dari periuk. Jikalau aku lihat engkau melanggar laranganku itu, niscaya aku hukum engkau.”
Kata Abu Nawas, “Baiklah.”
Setelah sudah masak nasi itu, maka Abu Nawas pun hendak makan, dikoreknya dan dipecahkannya pantat periuk itu, lalu disendoknya nasi dari lubang yang dibuatnya itu, dimakannya. Amat heran Yahudi itu melihat pekerjaan kuli itu.
“Selama aku menggaji orang, belum pernah aku mendapat orang gajian seperti kuli ini, tiada boleh menang aku dibuatnya,” pikirnya dalam hatinya. “Jikalau aku yang mengeluarkan dia, niscaya hilang dagingku sekati. Kalau begitu kubunuh juga orang ini, bilamana ia sudah tidur malam nanti!” setelah itu diceritakanlah oleh Yahudi itu niatnya yang demikian kepada istrinya.
Dengan takdir Allah percakapan kedua mereka itu terdengar kepada Abu Nawas. Setelah hari malam, Abu Nawas pun pura-pura tidur. Yahudi itu tidur pula menantikan waktu yang baik, akan tetapi dengan kuasa Allah terlalu nyenyak tidurnya. Demi dilihat Abu Nawas hal yang demikian itu ia pun masuk ke dalam bilik Yahudi itu, lalu diangkatnya bini Yahudi itu dan ditaruhnya pada tempat tidurnya. Setelah sudah, lalu Abu Nawas tidur bersama-sama dengan Yahudi itu.
Sejurus antaranya dibangunkannyalah Yahudi itu dengan lemah lembut.
Pada pikiran Yahudi itu, tak dapat tiada yang membangunkan dia itu bininya juga, lalu ia bangun, berpikir dan pergi mengambil sebilah pisau. Ia pun berjalan ke luar dan terus ke tempat Abu Nawas tidur itu. Dengan tak berpikir panjang lagi dipotongnyalah leher perempuan itu, tiada menaruh belas kasihan sedikit juga. Sebab sangkanya, sungguh-sungguh Abu Nawaslah yang dibunuhnya itu. Kemudian pergilah ia tidur pula.
Apabila dilihat oleh Abu Nawas Yahudi itu sudah tidur nyenyak, keluarlah ia, lalu diangkatnya mayat bini Yahudi itu dan diletakkannya pula ke dalam bilik di sisi suaminya. Ia pun tidur ke tempatnya kembali.
Setelah hari sudah siang, maka Abu Nawas pun keluar dari dalam rumah Yahudi itu dengan memakai pakaian Yahudi, lalu pergi menghadap raja di dalam negeri itu. Adapun pada ketika Abu Nawas sampai ke istana raja itu, baginda sedang dihadap oleh raja-raja dan orang-orang besar dan rakyat sekalian. Maka Abu Nawas pun naik, lalu menyembah kepada raja itu, katanya, “Ampun Tuanku beribu-ribu ampun! Patik hendak menunjukkan dan menyembahkan hal patik ke bawah duli Syah Alam.
Semalam ibu patik dibunuh oleh bapak patik, apa sebabnya patik tiada tahu. Akan tetapi patik tahu benar, bahwa ibu patik itu tiada berdosa sekali-kali. Bagaimana perintah Tuanku?”
Dengan segera raja itu pergi ke rumah Yahudi itu.
Setelah didengar oleh Yahudi itu raja datang, ia pun lari menjauhkan dirinya ke mana-mana, sebab ketakutan. Apabila dilihat raja Yahudi itu tiada lagi, maka kata baginda kepada Abu Nawas serta memandang kepada orang-orang besar yang mengiringkan dia, “Baiklah kita lelang rumah ini.”
Jawab Abu Nawas, “Mana titah Tuanku patik junjung di atas batu kepala patik!”
Maka titah baginda pula, “Baiklah! Sekarang ini engkau tunggu saja rumah ini dahulu. Esok pagi-pagi boleh aku datang pula ke sini bersama-sama dengan orangku sekalian. Hai, Menteri,” kata baginda kepada seorang dari pengiringnya itu, “engkau pukul canang sekarang ini, supaya berhimpun orang di rumah Yahudi ini besok pagi!”
Setelah sudah bertitah demikian, baginda pun pulang ke istananya.
Keesokan harinya ramailah orang di rumah Yahudi itu. Maka titah baginda, “Hai, siapa tuan-tuan yang mau membeli rumah Yahudi ini serta dengan segala isinya dan perkakasnya?”
Maka kata Abu Nawas kepada raja, “Ya, Tuanku, patik mempunyai permintaan, inilah sebuah paku saja. Jangan paku ini turut masuk dilelang.”
Sabda raja itu, “Baiklah!”
Setelah itu baginda pun menyuruh lelang rumah itu. Maka dibeli oleh seorang Yahudi saudagar kain dengan harga tiga puluh ringgit. Kemudian pulanglah baginda serta sekalian orang itu masing-masing ke rumahnya.
Adapun uang lelang itu diterima sendiri oleh raja dengan dalih, untuk negeri atau kerajaan!
Beberapa hari kemudian daripada itu tersebutlah Yahudi saudagar kain itu memanggil segala sahabat kenalannya, akan makan-minum dan bersuka-ria di rumah yang baru dibelinya itu.
Demi didengar khabar itu oleh Abu Nawas, ia pun pergi mencari bangkai binatang yang busuk-busuk, lalu dibawanya masuk ke dalam rumah itu dan disangkutkannya pada pakunya yang tiada masuk lelang itu. Melihat hal yang demikian itu berkatalah Yahudi itu kepada Abu Nawas, “Hai sahabatku, alangkah malu aku kelak kepada jamuku, bilamana dilihatnya dan dibaunya bangkai-bangkai itu. Jika Tuan hamba suka mengangkatnya kembali, boleh aku beri Tuan hamba uang.”
Jawab Abu Nawas, “Baiklah, tetapi berilah aku dahulu uang tiga ribu ringgit! Jika tidak, Tuan hamba terkena perkara . . .!”
Dengan hati yang enggan diberikanlah uang kepada Abu Nawas oleh Yahudi itu. Dan bangkai beserta pakunya itu pun dibuangkanlah oleh Abu Nawas.
Setelah itu berjalanlah Abu Nawas pulang ke negeri Bagdad kembali. Ia bersuka cita benar beroleh uang sebanyak itu, lalu diberikannya sebagian kepada saudara angkatnya yang malang itu dan sebagian disedekahkannya kepada fakir dan miskin. Setelah itu dihimpunkannyalah segala handai taulannya akan makan-minum bersuka ria di rumahnya.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters