Rabu, 25 Mei 2011

PALASARA KAWIN DENGAN DEWI LARA AMIS DI TENGAH KALI

Kisah Palasara, Lara Amis dan Abiyasa ini penuh dengan simbolisme dan mistisme. Di atas diceritakan gunung kawin dengan sungai, kemudian melahirkan manusia. Dilihat secara lahiriah dan harfiah, kelihatan sangat aneh sekali. Tetapi kalau dilihat secara intuitif dan simbologis atau dengan bahasa pujangga, memang demikianlah seharusnya. Karena gunung itu melambangkan kejantanan atau lingga, sedangkan sungai melambangkan kesuburan atau yoni atau kewanitaan. Di kota Jakarta, kita juga dapat melihat lambang lingga dengan yoni dalam satu tempat, yaitu tugu Monas. Tugunya melambangkan lingga, sedang cekung dan ruang tengah dibawah tugu melambangkan yoni. Tentunya lambang Monas tersebut dimaksudkan sebagai keabadian yang turun temurun sepanjang zaman.

Dalam Mahabharata disebutkan bahwa setelah sungai Suktimati hamil berhentilah aliran sungai. Memang benar bahwa kehamilan itu menghentikan pengaliran. Mengapa dipilih gunung dan sungai? Karena memang gunung dan sungai sudah jodohnya dan mengandung empat unsur, yaitu: tanah, air, api dan angin. Tidak ada gunung tanpa sungai, sebaliknya tidak ada sungai tanpa air (dari) gunung. Dalam (tanah) gunung ada apinya, sedang dalam (air) sungai ada udaranya. Simbolisme proses cinta atau proses “turun temurun” ini bukanlah akal-akalan dan akalnya orang sekarang saja, tetapi sudah ada sejak filsafat Empedokles dari Yunani (490-530 Sebelum Masehi). Silakan baca “Alam Pikiran Yunani” jilid I hal 35, karya Bung Hatta atau karya Dr. K. Bertens.

Alam itu pada mulanya satu yang disatukan oleh cinta atau “philotes”. Cinta adalah suatu kodrat yang membawa minat bersatu dan bercampur. Tetapi sebaliknya alam yang menjadikan pokok perpisahan dan perceraian. Dalam wayang yang sudah berumur 3500 tahun itupun terdapat juga lambang proses cinta (philotes) yang menyebabkan kelahiran itu.

Coba perhatikan sebelum ada lakon wayang, yang ada pertama kali adalah tirai putih kosong, yang di tengah-tengahnya ada dua buah gunungan, yaitu gunung jantan dan betina yang berimpit menjadi satu. Karena persatuan tersebut (setelah dalang menarik gunungan itu ke bawah) mulailah ada lakon atau hidup atau kelahiran. Munculnya tokoh wayang raja dalam tirai itu melambangkan munculnya atau lahirnya (jabang) bayi.

Nah, jelaslah uraian simbologi di atas. Marilah sekarang kita mengungkapkan tokoh Palasara dan kelahiran Abiyasa secara metafisis. Tentu saja akan saya batasi hal-hal yang dapat dibaca oleh umum.

Di Saptarengga yang juga disebut Dieng, ada seorang pendeta bernama Manumanasa, berputra Sakutrem, kemudian Sakri berputra Palasara. Resi Palasara inilah yang digubah dalam kitab Pustaka Raja Purwa sedemikian rupa sehingga menjadi pencipta negara Astina. Mengapa? Demikianlah ceritanya:

Ketika resi Palasara sedang bertapa, ada sepasang burung pipit bersarang dan bertelur sampai menetaskan telurnya di atas kepala Palasara. Tiba-tiba suami isteri burung pipit itu tak mau lagi memberi makan kepada anak-anaknya. Ini semua adalah godaan tetapi juga jalan (laku). Hampir setiap hari Palasara mendengar tangis anak burung yang kelaparan itu, sedangkan ayah dan ibunya malahan sibuk bercumbu-cumbuan di muka hidung Palasara. Namun Palasara tidak boleh marah. Maka Palasara mencoba membawa anak burung itu kepada ayah ibunya. Tetapi sepasang burung pipit itu seperti menggoda dan menjauhi Palasara, seolah-olah mereka tak mau bertanggung jawab. Perjalanan Palasara terhalang oleh sungai Jamuna. Tak ada seorang pun yang kelihatan kecuali seorang wanita pendayung bernama Durgandini. Maka sapanya:

“Hai wanita cantik,” tegur Palasara. “Bawalah aku ke seberang sungai agar aku dapat menyusulkan anak burung pipit ini kepada induknya”.

Maka Palasara naik perahu dan Durgandini mendayung ke seberang. Basah kuyup keringat Durgandini. Ia kelihatan sangat lelah sekali mendayung perahunya. Ketika perahu sampai di tengah sungai, ada angin yang nakal menyingkap kain Durgandini dan keluarlah bau busuk dari badannya. Melihat kejadian ini Palasara merasa iba, tidak merasa terganggu oleh bau busuk, bahkan tertarik akan kecantikan dewi Durgandini. Maka diusapnyalah keringat Lara Amis yang bercucuran itu dan perahu bergoyang-goyang. Tiba-tiba perahu dayung itu pecah dan belah menjadi dua. Mereka tenggelam dalam alunan air, terengah-engah menuju ke tepi pulau. Konon ceritanya mereka terdampar di sebuah pulau, sedangkan kedua belah perahu itu menjadi manusia kembar bernama Kencarupa dan Rupakenca, sedang penyakit atau cacatnya Durgandini menjadi Rajamala dan bakteri atau ulat menjadi Seta. Pendek kata Lara Amis kemudian mengandung dan melahirkan Abiyasa di tengah pulau itu. Oleh karenanya Abiyasa juga bernama Dwipayana yang artinya “Manusia lahir di pulau”. Sedangkan bau amis yang diderita Durgandini hilang dan berubah menjadi bau harum yang dapat tercium sejauh 100 yojana, (+ km) oleh karenanya Durgandini juga bernama Satayojanagandi. Peristiwa dan kisah ini hanyalah kiasan belaka.

Mulai dari sinilah letak perbedaannya. Menurut Adiparwa, Palasara lalu melanjutkan perjalanannya dan Satayojanagandi memperoleh “keperawanannya” kembali atas kesaktian Palasara. Sedang dalam Pustaka Raja Purwa, Palasara dengan kesaktiannya merubah pulau dan hutan di sekitarnya itu menjadi negara Astina. Nah pertanyaannya sekarang, mengapa digubah demikian? Baiklah kita ikuti kisah selanjutnya.
  

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters