Selasa, 14 Juni 2011

ABU NAWAS AKAN DISEMBELIH

Suatu hari Abu Nawas berjalan dari suatu kampung ke kampung lain. Tatkala hari hampir waktu maghrib, ia pun hendak pulang ke rumahnya melalui sebuah kampung orang badui. Di situ ia bertemu dengan beberapa orang yang tengah memasak bubur haris (bubur makanan orang tani).

Maka datanglah orang itu menangkap Abu Nawas, lalu dibawanya ke dalam rumahnya hendak disembelihnya. Maka kata Abu Nawas kepada orang Badui itu, “Hendak engkau apakan aku ini?”

Kata orang Badui itu, “Hai, orang muda, adapun adat pada tempat ini, apabila orang melintas disini, niscaya kena tangkaplah ia dan disembelih lehernya akan ganti kambing: dagingnya dimasak, dijadikan bubur bersama-sama dengan tepung gandum. Inilah pekerjaan kami disini dan inilah selama-lamanya makanan kami.”

Demi didengar oleh Abu Nawas demikian ujar orang Badui itu, maka katanya, “Adapun aku ini sangatlah kurus badanku dan tiada berapa dagingku. Nantilah, esok malam boleh aku bawa seorang laki-laki yang sangat gemuk, yang berlapis-lapis dagingnya. Cukup dimakan lima hari. Lepaskanlah aku ini, supaya aku jemput orang itu!”

Setelah didengar oleh orang Badui kata Abu Nawas itu, maka katanya, “Baiklah, bawalah orang itu kemari!”

“Esok hari waktu maghrib bolehlah kubawa orang itu kepadamu,” jawab Abu Nawas. Setelah berteguh-teguhan janji, lalu Abu Nawas dilepaskan oleh tukang bubur itu.

Abu Nawas pulanglah ke rumahnya. Pikirnya di dalam hatinya, “Sultan Harunurrasyid itu duduk saja di dalam istananya, lengah, tiada tahu akan perbuatan rakyatnya di dalam negeri ini dan tiada pernah menyuruh periksa hal ihwal mereka itu. Banyaklah orang jahat berbuat pekerjaan yang tiada patut, menyembelih orang, diperbuatnya seperti kambing! Hal itu tiada diketahui oleh raja! Heran! Baiklah aku bawa Sultan Harunurrasyid ke kampung orang Badui yang berjualan bubur haris itu, supaya dilihatnya, dan aku serahkan baginda kepada tukang bubur itu!”

Syahdan maka Abu Nawas pun pergilah masuk ke dalam istana menghadap baginda, lalu berdatang sembah, “Ya, Tuanku Syah Alam, jikalau Tuanku hendak melihat orang yang bermain-main terlalu ramainya, bolehlah patik tunjukkan tempatnya. Semua orang melihat permainan itu, Tuanku.”

“Bilakah orang bermain itu, katakanlah, hai, Abu Nawas!”

“Lepas waktu asar, Tuanku.”

“Baiklah.”

“Tetapi jangan Syah Alam memakai pakaian kerajaan, melainkan berpakaian cara dermis (pakaian orang minta-minta) saja dan jangan membawa rakyat, hanya patik saja boleh mengiringkan Syah Alam ke tempat itu.”

“Hem, mana yang lebih ramai dengan permainan bunyi-bunyianmu dahulu itu?” tanya sultan dengan sindiran tajam. Abu Nawas terkejut dan kemalu-maluan, “Ampun Tuanku,” sahutnya, “akan tetapi permainan rakyat Tuanku ini luar biasa sekali, patut Tuanku lihat dan perhatikan.”

“Oh, kalau begitu, baiklah aku pergi.”

Abu Nawas pun pulanglah ke rumahnya. Setelah datang waktu bermain itu, masuklah pula ia ke penghadapan. Kemudian baginda berjalan dengan Abu Nawas berkeliling negeri Bagdad. Tiada berapa lama antaranya sampailah keduanya ke rumah orang yang berjualan bubur itu. Maka baginda pun bertanya kepada Abu Nawas, “Bunyi apakah yang riuh rendah di dalam rumah orang itu?”

Sembah Abu Nawas, “Ya, Syah Alam, tiadalah patik ketahui. Izinkanlah patik pergi melihat apa sebabnya orang riuh rendah itu! Baiklah Syah Alam berhenti sebentar disini dahulu.”

Abu Nawas pun pergilah ke tempat orang menyembelih manusia itu. Setelah sampai, maka kata Abu Nawas kepadanya, “Adapun perjanjianku dengan engkau hendak membawa orang yang gemuk kepadamu, sekarang telah aku bawa orang itu. Ada diluar, marilah engkau terima dia itu!”

Setelah itu ia pun keluar dari dalam rumah orang Badui serta diiringkan oleh tukang bubur itu. Maka Abu Nawas teruslah pergi kepada Sultan Harunurrasyid. Titah baginda kepadanya, “Nah, rumah apa itu dan bunyi apa yang riuh rendah itu?”

Sembah Abu Nawas, “Rumah itu tempat orang berjualan bubur haris. Oleh sebab banyak orang yang datang membeli bubur menjadi ramailah disitu, riuh rendah suaranya.”

Di dalam berkata-kata itu datanglah orang berjualan bubur haris ke tempat itu, lalu ditangkapnya Sultan Harunurrasyid. Maka Abu Nawas pun larilah; dalam hatinya, “Jika baginda itu orang berakal, niscaya terlepaslah ia dan jikalau bodoh, matilah ia disembelih orang jahat itu.”

Kalakian baginda itu pun dibawa oleh orang Badui itu ke tempat memotong daging, hendak dikeratnya batang lehernya. Dengan terkejut dan heran berkatalah baginda. “Adapun daging aku ini tiada berapa banyaknya akan engkau perbuat bubur haris itu, hasilnya pun sedikit. Yang baiknya engkau suruhlah aku ini membuat kopiah; pada satu hari dua biji selesai aku buat. Jika engkau jual, harganya dapat lebih daripada harga bubur itu.”

“Masa. . . “

“Berapa engkau dapat dari hasil berjualan bubur itu?”

“Seringgit,“ jawab orang itu.

“Seringgit?” tanya baginda. “Hanya seringgit; jadi jikalau aku engkau sembelih, niscaya seringgit saja engkau dapat. Akan tetapi bila aku disuruh membuat kopiah itu, pada tiap-tiap hari dua ringgit engkau peroleh. Cukup untuk makanmu serta anak binimu selama-lamanya.”

Setelah ia mendengar perkataan sultan demikian itu, tiadalah jadi baginda disembelihnya.

Maka tersebutlah di dalam istana baginda. Sekalian orang huru-hara mencari sultan itu di negeri Bagdad, tetapi seorang pun tiada bertemu dengan baginda itu. Beberapa hari lamanya maka terdengar khabar,, bahwa Sultan Harunurrasyid ada di dalam rumah orang Badui yang berjual bubur haris itu. Akan pekerjaan baginda ialah membuat kopiah itu: banyak dapat untungnya. Mula-mula khabar itu diterima orang beginilah ceritanya: Telah beberapa lamanya baginda terpenjara di dalam rumah orang Badui itu, baginda membuat sebuah kopiah yang baik sekali. Untuk hiasannya kopiah itu diaturnya huruf menyatakan surat daripadanya, Sultan Harunurrasyid, kepada menterinya. Bunyi surat itu, “Hai, Menteriku, berapa juga harganya kopiah ini hendaklah engkau beli. Akan tetapi sekarang, malam ini, hendaklah engkau datang ke kampung tukang bubur, serta bawalah olehmu bala tentara empat lima ratus orang, karena aku terpenjara dalam rumah tukang bubur itu.” Setelah sudah, lalu diberikan baginda kopiah itu kepada tukang bubur itu, seraya katanya, “Hai, tukang bubur, kopiah ini engkau jualkan kepada menteri laksamana, karena kopiah ini ialah pakaian menteri. Harganya sepuluh ringgit: niscaya dibeli oleh menteri itu.”

Tukang bubur itu terlalu suka hatinya, lalu pergi ke rumah menteri laksamana itu. Ketika melihat kopiah itu, berkenanlah hati menteri itu, lalu ditanyakannya harganya.

“Sepuluh ringgit tiada boleh kurang,” jawab tukang bubur itu.

Oleh karena mendengar harga semahal itu, maka diamat-amatilah kopiah itu oleh menteri. Memang bagus buatannya! Tiba-tiba terpandang olehnya huruf yang teratur di dalam bunga hiasan kopiah itu, langsung dibacanya dalam hati ia pun mengertilah akan maksud surat itu. Dengan segera dibelinya kopiah itu dan dibayarnya harganya.

Tukang bubur itu pulanglah ke rumahnya dengan sukacitanya.

Dan tatkala malamlah hari, maka menteri itu pun menghimpunkan rakyat sekalian serta dengan alat senjatanya, lalu berjalan menuju kampung tukang bubur itu. Setelah sampai ke situ, mereka itu pun menyerbukan dirinya ke rumah Badui tukang bubur haris itu. Maka didapatinya sultan di dalam rumah itu, lalu dikeluarkan oleh mereka itu, dibawanya pulang ke dalam negeri dan langsung ke istana baginda. Akan orang-orang seisi kampung tukang bubur haris itu disuruh bunuh oleh baginda sekaliannya, sebab kelakuannya terlalu jahat.

Keesokan harinya baginda pun bertitah kepada menteri menangkap Abu Nawas dan membawa dia ke penghadapan, baginda hendak menjatuhkan hukuman atas dirinya karena ia memberi malu baginda itu. Menteri sekalian pun pergilah ke rumah Abu Nawas. Ketika itu Abu Nawas tengah sembahyang lohor, lalu memberi salam setelah sudah, ditangkaplah ia oleh segala menteri itu, lalu dibawanya menghadap baginda.

Baru sultan itu melihat Abu Nawas datang itu, bukan kepalang marahnya. Matanya merah sebagai saga, lalu baginda bersabda seraya menggertakkan gerahamnya, “Hai, Abu Nawas, tiada patut sekali-kali perbuatan engkau kepadaku ini, sebab itu haruslah engkau dibunuh!”

Maka sembah Abu Nawas itu, “Ya, Tuanku Syah Alam, sebelum Syah Alam menjatuhkan hukuman mati atas patik ini, lebih dahulu patik bermohon ke bawah duli Syah Alam hendak berkata-kata!”

“Baiklah. Akan tetapi jikalau salah perkataanmu itu, niscaya engkau kusuruh bunuh hari ini juga.”
Abu Nawas berdatang sembah, “Ya, Tuanku Syah Alam! Patik ini telah tertangkap dahulu oleh orang Badui itu, hendak disembelihnya. Kata patik, “Adapun aku ini sangat kurus, kurang daging. Nantilah aku carikan orang yang gemuk, supaya engkau sembelih dibuat bubur haris itu. Tuanku pun patik bawa ke sana, sebab di dalam hati patik ini, jikalau patik datang menghadap ke bawah duli Syah Alam mempersembahkan kejahatan rakyat Tuanku yang demikian, barangkali Tuanku tiada percaya. Akan tetapi jika sudah melihat sendiri dengan kenyataannya, tentu Tuanku dapat menghukum dia, karena sekalian perbuatan itu terpikul di atas bahu Tuanku juga pada kemudian hari. Jika patik bawa Tuanku ke situ, biar Tuanku pandang peristiwa buruk itu dengan mata sendiri, supaya terlepas Tuanku dari kesalahan itu.

Bukantah raja yang adil itu harus mengetahui segala perbuatan rakyatnya dan antara empat lima hari harus sekali pergi berjalan-jalan melihat sekalian hal ihwal mereka itu? Demikianlah, ya, Tuanku Syah Alam! Jika salah perkataan patik ini, hukumlah patik. Akan tetapi jikalau Tuanku hukum, tidaklah patik terima hukuman itu, melainkan tertanggunglah dosanya atas diri Tuanku pada hari kiamat di dalam neraka.”

Demi baginda mendengar perkataan Abu Nawas demikian, hilanglah segala murka baginda itu, lalu ia berpikir di dalam hatinya, “Betul juga kata Abu Nawas itu!” kemudian maka sabda baginda, “Baiklah kuampuni engkau ini atas sekalian kesalahan itu, akan tetapi jangan engkau perbuat lagi atasku seperti yang demikian itu!”

Maka Abu Nawas pun menyembah bermohon diri akan pulang ke rumahnya.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters