Rabu, 22 Juni 2011

ORANG MISKIN DENGAN KOLAM YANG DINGIN AIRNYA

Di dalam negeri Bagdad adalah seorang saudagar yang mempunyai sebuah kolam tempat mandi, terlalu sejuk airnya. Tiada seorang jua pun yang tahan berendam barang setengah malam di dalamnya.

Suatu hari saudagar itu berkata, “Barangsiapa yang tahan berendam di dalam kolam itu satu malam, akan kuberi uang sepuluh ringgit.”

Maka banyaklah orang yang mencoba-coba masuk ke dalam kolam itu, tetapi tak ada yang tahan semalam. Setahan-tahannya hanya sepertiga malam saja.

Sekali peristiwa datanglah seorang-orang miskin minta-minta kepada saudagar itu. Kata saudagar itu kepadanya, “Hai, derwis, maukah engkau masuk ke dalam kolamku ini barang semalam saja? Jika engkau tahan, aku beri upah sepuluh ringgit.”

Jawab orang miskin itu, “Baiklah kucoba dahulu barang sekali,” lalu dicelupkannya tangan dan kakinya ke dalam air itu. Betul dingin sekali, tetapi kemudian katanya, “Boleh saja tahan.”

Kata saudagar itu, “Baiklah, malam ini engkau boleh masuk ke dalamnya berendam.”

Kata orang miskin itu pula, “Baiklah. Sekarang ini hamba pulang dahulu memberitahukan hal itu kepada anak biniku.” Dan ia pun bermohon diri, lalu undur dari tempat itu.

Baru sampai ke rumahnya, maka katanya kepada bininya, “Hai, Adinda, betapa pikiranmu jika aku masuk ke dalam kolam saudagar itu, berendam semalam, supaya dapat upah sepuluh ringgit? Apabila Adinda izinkan, maulah aku mencobanya, mudah-mudahan bisa tahan.”
Jawab bininya, “Baiklah, moga-moga Allah menguatkan hamba-Nya.”

Setelah itu kembalilah orang miskin itu mendapatkan saudagar itu pula. Kata saudagar itu kepadanya, “Masuklah engkau nanti pukul delapan ke dalam kolam itu dan keluar pukul enam pagi. Jika tahan, nanti kubayar upahmu.”

Setelah itu orang miskin itu pun masuk ke dalam kolam itu. Hampir tengah malam tiada tertahan lagi dinginnya. Ia hendak ke luar, tetapi karena menginginkan uang sepuluh ringgit itu, ditahan-tahankannya juga. Ia pun minta doa kepada Allah subhanahu wataala, supaya jangan terlalu dingin. Doanya itu dikabulkan Tuhan, ia tiada berasa dingin benar lagi. Waktu pukul dua malam anak orang miskin itu pun datang hendak melihat bapaknya, sudah matikah ia atau masih hidup. Bukan main suka hati anak itu melihat bapaknya masih hidup, lalu dinyalakannya api di tepi kolam serta ditunggunya bapaknya itu sampai pagi.

Setelah sianglah hari, maka orang miskin itu pun ke luar dan naik minta upahnya kepada saudagar itu. Akan tetapi kata saudagar itu, “Mana boleh aku beri, sebab anak engkau menjadikan api di tepi kolam itu. Niscaya panas api itu dapat menolong engkau.”

Jawab orang miskin itu, “Sekali-kali tiada sampai panas itu kepada hamba, sebab api anak hamba itu jauh dari hamba, dan lagi hamba di dalam air, betapa dan mana boleh berasa panas api itu.”

Kata saudagar itu, “Aku tiada mau memberi upah itu. Sekarang ini mana yang engkau pilih: kalau engkau pergi mengadu, boleh, dan kalau hendak berkelahi pun boleh juga. Aku menanti.”
Maka orang miskin itu pun pulang ke rumahnya dengan susah hatinya. “Sudah dingin, tiada dapat upah,” katanya di dalam hatinya. Kemudian ia pun pergi mengadukan halnya ditipu saudagar demikian itu kepada kadi. Akan tetapi perkataannya tiada didengarkan oleh kadi itu, melainkan saudagar itulah yang dimenangkannya. Sebab itu maka orang miskin itu pun pergi pula kepada orang-orang besar di dalam negeri itu, minta bicara, mereka itu pun mengalahkan dia juga.

“Kemana lagi aku akan mengadukan halku ini,” katanya dengan sedih hatinya. “Ya, Allah, Engkau jua yang tahu akan hal hamba-Mu ini, mudah-mudahan tiap-tiap orang yang benar itu Engkau menangkan juga.”

Maka berjalanlah ia kesana kemari dengan dukacitanya. Dengan takdir Allah ia pun bertemu dengan Abu Nawas. Demi dilihat oleh Abu Nawas orang miskin itu amat menanggung susah hati rupanya, bertanyalah ia kepadanya, “Hai, hamba Allah, mengapa Tuan hamba ini seperti orang yang sedang berdukacita?”

Kata orang miskin itu, “Betullah, susah hatiku ini . . .” Lalu ia mengadukan halnya kepada Abu Nawas serta menceritakan sekaliannya dari permulaan sampai pada kesudahannya.

Kata Abu Nawas, “Insya Allah perkaramu itu dengan mudah saja dapat diputuskan, jangan engkau bersusah hati lagi!”

Jawab orang miskin itu, “Seboleh-bolehnya Tuan hambalah yang kuharapkan menolong membicarakan halku itu.”

Kata Abu Nawas, “Esok hari engkau datang ke rumahku, supaya engkau lihat perbuatanku. Niscaya engkau menang dengan kuasa Allah.”

Kata orang miskin itu pula, “Aku mengucap terima kasih banyak-banyak, akan hal Tuan hamba bersedia menolong aku ini.” Setelah itu ia pun pulang ke rumahnya dengan suka hatinya.

Akan Abu Nawas itu, pergilah ia ke istana raja. Setelah datang, lalu ia tunduk menyembah kepada baginda. Maka baginda pun bertanya kepada Abu Nawas, “Apa khabar, Abu Nawas?”
“Khabar baik, ya, Tuanku Syah Alam,” kata Abu Nawas, “Dan patik datang ini, patik hendak memohonkan ampun ke bawah duli Syah Alam. Jikalau duli Syah Alam tiada berkeberatan, patik silakan duli Syah Alam ke rumah patik, sebab patik ada mempunyai niat.”

Sabda baginda kepada Abu Nawas, “Hai, bilakah engkau memanggil aku ini?”

Sembah Abu Nawas, “Esok hari Senin pukul tujuh pagi, Tuanku.”

Sabda baginda pula, “Baiklah, aku akan pergi ke rumah engkau itu.”

Maka Abu Nawas pun menyembah, bermohon keluar dari istana, lalu pergi ke rumah saudagar yang empunya kolam itu, kemudian ia pun terus ke rumah penghulu, orang-orang besar, dan lain-lainnya. Sekaliannya dipanggil oleh Abu Nawas.

Setelah keesokan harinya, hari Senin pukul tujuh pagi, maka pergilah baginda ke rumah Abu Nawas. Serta baginda dilihat oleh saudagar dan oleh penghulu dan oleh orang-orang besar itu, sekaliannya pun segera datang mengiringkan baginda.

Adapun pagi-pagi itu Abu Nawas telah membentangkan tikar permadani dirumahnya. Demi dilihatnya baginda serta pengiringnya sekalian datang itu, lalu disilakannya masuk ke dalam rumahnya serta disusukkannya pada tempatnya masing-masing, cara adat orang-orang besar juga adanya. Setelah sudah, maka Abu Nawas pun bermohon diri sebentar, lalu pergi menggantungkan sebuah periuk besar ke atas pohon kayu dan menyalakan api di bawah pohon itu.

Arkian lamalah sudah baginda duduk di rumah Abu Nawas itu, suatu pun tiada yang keluar. Maka baginda pun memanggil Abu Nawas, sabda baginda, “Hai, Abu Nawas, apa khabar, sudah masakkah nasi itu atau belum?”

Sembah Abu Nawas, “Nantilah sebentar lagi, ya, Syah Alam!”

Baginda pun diam serta duduk menantikan nasi Abu Nawas itu. Akan tetapi hampir tengah hari belum suatu apa jua pun yang keluar. Perut baginda sudah lapar, sebab itu lalu dipanggilnya pula Abu Nawas, “Hai, apa khabar nasi itu, karena aku sudah lapar sungguh.”
“Sebentar lagi, ya, Syah Alam!”

Maka duduklah pula baginda menunggu nasi itu, sampailah pukul dua lohor. Akan tetapi belum ada apa-apa jua yang keluar. Baginda tiada tahan lagi, lalu bangun dan pergi ke belakang rumah Abu Nawas serta diiringkan oleh sekalian jamu itu. Mereka itu akan melihat apa juga pekerjaan Abu Nawas itu. Setelah sampai, maka kelihatan oleh Sultan Harunurrasyid Abu Nawas tengah membesarkan apinya.

“Hai, Abu Nawas, mengapa engkau membuat api di bawah pohon besar itu?” sabda baginda dengan heran.

Demi didengar oleh Abu Nawas suara baginda itu, maka ia pun menoleh ke belakang serta berdiri dengan segera, lalu berdatang sembah, “Ya, Tuanku Syah Alam, patik menanak nasi, sebentar lagi masak.”

Baginda terlalu amat heran melihat perbuatan Abu Nawas itu. Kemudian sabdanya, “Menanak nasi? Manakah peiuknya?”

Sembah Abu Nawas, “Ada, Tuanku.”

“Ada? Mana?” sahut baginda sambil menengadah. Maka terpandang oleh baginda ada sebuah periuk besar tergantung jauh di atas pohon kayu itu. Dengan segera baginda bersanda pula. “Hai, Abu Nawas, gilakah engkau ini? Bagaimana perbuatanmu ini?

Masa akan masak nasi begini! Periuknya diatas pohon kayu, apinya dibawah, mana bisa masak nasi itu? Sepuluh hari takkan panas airnya dan periuknya saja pun takkan hangat juga!”
Maka kata Abu Nawas, “Bagaimana, Syah Alam! Ada seorang-orang miskin berjanji dengan saudagar, duli Syah Alam. Disuruhnya orang miskin itu berendam dalam air kolam itu, katanya, “Jika ada seorang yang tahan satu malam berendam dalam kolamku ini, aku upah dia sepuluh ringgit.” Sekarang, orang miskin itu tahan berendam semalam, terlalu dinginnya, oleh sebab mengharap akan uang sepuluh ringgit itu. Pada pukul dua malam datanglah anaknya melihat bapaknya, entah matikah, entah hidup. . .,” lalu diceritakannya oleh Abu Nawas hal itu sampai kepada akhirnya. “Itulah sebabnya maka patik berbuat yang demikian ini,” kata Abu Nawas pula, “Akan jadi misal, Tuanku. Orang miskin itu sudah mengadukan halnya itu kepada orang-orang besar dan penghulu itu, tiada didengar perkataannya melainkan saudagar itu juga yang dimenangkan. Tuanku boleh pikir seperti hamba Syah Alam perbuat ini, bolehkah masak nasi di dalam periuk itu?”

Sabda baginda, “Dimana boleh masak nasi itu, airnya pun tiada panas karena jauh apinya.”
“Demikianlah pula orang miskin itu, ia di dalam air dan anaknya membuat api di daratan jauh dari kolam itu. Akan tetapi saudagar itu mengatakan, sebabnya ia tahan dari dinginnya itu, karena anaknya menyalakan api di tepi kolam itu, jadi hangat katanya.”

Demi saudagar itu mendengar perkataan Abu Nawas demikian itu, mukanya pun jadi pucat. Ia tiada dapat membantah keterangan itu, demikian juga orang besar yang lain-lain, karena sungguh begitu halnya.

Maka sabda baginda, “Sekarang ini aku putuskan, saudagar itu harus memberi upah kepada orang miskin itu seratus dirham. Lain dari itu ia dihukum penjara satu bulan, karena ia berbuat salah kepada orang miskin itu. Penghulu dan orang-orang besar itu disekap empat hari lamanya, sebab memberi putusan yang tiada benar, tiada adil.”

Sebentar itu juga orang miskin itu pun menerima uang seratus dirham dari saudagar itu. Setelah itu, lalu ia menyembah kepada baginda dan memberi salam kepada Abu Nawas dengan sukacitanya, serta bermohon pulang ke rumahnya.

Kalakian Sultan Harunurrasyid pun menitahkan kepada menterinya akan memasukkan saudagar dan penghulu dan orang-orang besar itu ke dalam penjara. Sudah itu pulanglah baginda ke dalam istananya dengan perut lapar dan haus dahaga.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters