Rabu, 22 Juni 2011

SEORANG SAUDAGAR DENGAN NAZARNYA

Di dalam negeri Kopah adalah diam seorang saudagar laki-laki. Ia sudah beberapa lamanya rindu akan seorang anak, tetapi belum juga diperolehnya. Suatu hari ia berkata kepada istrinya, “Ya, Adinda, baiklah kita bernazar kepada Allah subhanahu wataala. Jikalau kita diberi Allah seorang anak laki-laki, aku akan memotong seekor kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal; aku sedekahkan dagingnya kepada fakir dan miskin di dalam negeri ini.”

Dengan takdir Allah taala istri saudagar itu pun hamil. Bukan buatan besar hati saudagar itu melihat hal istrinya demikian itu. Setelah sampai bulannya, perempuan itu pun melahirkan seorang anak laki-laki yang terlalu baik parasnya. Saudagar itu menaburkan uang perak kira-kira seribu ringgit serta bersedekah kepada fakir  dan miskin dan menjamu mereka itu makan minum.

Kemudian teringat pula olehnya akan nazarnya yang sebuah lagi belum dijalankannya, yaitu hendak memotong seekor kambing besar dan lebar tanduknya yang sejengkal itu. Dengan segera saudagar itu menyuruh orang mencari kambing itu di dalam negeri serta bertanyakan kepada sekalian orang, “Jika dapat, berapa harganya jangan ditawar lagi, melainkan beli saja!” demikian katanya kepada suruhan itu.

Sekalian suruhan itu pun pergilah mencari kambing ke segenap kampung dan desa di dalam negeri Kopah itu. Semuanya habis dijalaninya, tetapi kambing yang dikehendaki tuannya itu tiada juga dapat. Hanya ada dilihatnya kambing yang besar dan lebar tanduknya tiga empat jari jua.

Demi didengar oleh saudagar akan khabar itu, bukan buatan susah hatinya; maka pikirnya, “Jika demikian baiklah aku mendapatkan sekalian penghulu di dalam negeri Kopah ini, akan bertanyakan, kalau-kalau nazarku itu boleh diganti dengan yang lain saja atau dengan kambing jua barang sepuluh dua puluh ekor?”

Setelah itu ia pun berjalan hendak melaksanakan maksudnya itu. Beberapa lamanya di jalan, sampailah ia ke rumah seorang penghulu, lalu memberi salam. Segala penghulu di negeri itu sedang rapat disitu, bermusyawarat. Kata penghulu yang tertua kepadanya, “Hai, Saudagar Muda, apa maksud Tuan hamba datang kepada kami ini?”

Jawab saudagar itu, “Ya, Tuan Kadi, besar juga hajat saya ini . . .” Lalu diceritakannya segala nazarnya serta dengan hal ihwalnya.

Serta didengar oleh sekalian penghulu perkataan saudagar itu, mereka itu pun bermusyawarat. Kemudian kata yang tertua, “Hai, Saudagar, hendaklah Tuan hamba cari juga kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkal seperti nazar Tuan hamba itu barang dimana, karena tiadalah kami sekalian ini berani menyuruh menggantinya dengan yang lain-lain.”

Syahdan saudagar itu pun bermohon pulang ke rumahnya dengan amat dukacitanya, karena ia tak dapat terlepas daripada nazarnya yang pelik itu.

Beberapa lamanya dengan hal yang demikian, maka pada suatu hari terdengar khabar olehnya, bahwasanya di negeri Bagdad ada seorang raja, Sultan Harunurrasyid namanya, yang terlalu adil serta dengan bijaksananya.

“Baiklah aku pergi menghadap raja itu akan bertanyakan halku ini!” katanya dalam hatinya.
Setelah itu berangkatlah ia ke negeri Bagdad, langsung masuk ke dalam istana menghadap sultan itu. Kebetulan baginda pada ketika itu hadir di penghadapan. Demi dilihat baginda saudagar itu datang menyembah kepadanya, maka katanya, “Hai, orang muda, engkau orang mana ini?”

Jawab saudagar itu, “Ya, Tuanku Syah Alam! Ampun beribu-ribu ampun, adapun patik ini orang negeri Kopah.”

Kata raja pula, “Sekarang ini apa maksud engkau datang kemari ini? Hendak berdagangkah engkau disini?”

Sembah saudagar itu, “Ya, Tuanku, patik datang ini ialah hendak mengadukan hal patik ke bawah duli Yang dipertuan. “ceritakanlah apa halmu itu, supaya boleh kudengar!” sabda baginda.

“Pada suatu hari patik berkata kepada istri patik; sudah sekian lamanya aku beristrikan engkau, tetapi sampai sekarang belum juga kita beroleh seorang anak. Baik kita bernazar kepada Tuhan. Jika aku beroleh seorang anak laki-laki, aku akan memotong kambing yang besar tanduknya sejengkal . . . Demikian, Tuanku, nazar patik!” dan setelah itu lalu diceritakannya perihal ia sudah mendapat anak itu dan bahwa nazarnya itu tiada dapat dipenuhinya, sebab kambing itu tiada diperolehnya, bahwa ia sudah pergi berhukum kepada sekalian penghulu di dalam negerinya dan ke negeri lain-lain juga, sampai kepada kesudahannya. “Sekarang ini,” katanya pula, “Sudi apakah kiranya duli Syah Alam menghukum perihal nazar patik itu.”

Sabda Sultan Harunurrasyid, “Baiklah! Insya Allah taala dapatlah kita hukumkan. Datanglah engkau esok hari kemari!”

Setelah itu saudagar itu bermohon pulang ke tempat penumpangnya dengan suka hatinya.
Maka tersebutlah Sultan Harunurrasyid sehari-harian dan semalam-malaman itu terlalu susah hatinya memikirkan nazar saudagar itu. Dengan apa hendak dipenuhinya, jika kambing itu tiada didapatinya! Akan diganti dengan yang lain, tiada boleh! Pada malam itu juga baginda menyuruh panggil segala kadi dan ulama dan orang alim-alim berhimpun ke istananya. Setelah hadir sekalian mereka itu, dikhabarkanlah oleh baginda segala pengaduan saudagar itu kepadanya, serta titahnya, Hai, Hambaku sekalian, apa timbangan hambaku akan perkara itu? Jika tiada putus pada kita malam ini juga, niscaya aku beroleh malu besar, sebab aku sudah berjanji menyuruh dia kembali menghadap esok hari.”

Sekalian mereka itu termenung dan tepekur mendengar perkataan baginda itu, tiada terkata-kata lagi, ada sejurus lamanya. Kemudian mereka itu pun mengangkat kepalanya, lalu seorang di antaranya berdatang sembah, “Ya, Tuanku Syah Alam, tiadalah patik sekalian ini dapati, baik dalam kitab, baik pada akal sekalipun, bahwa nazar itu boleh diganti dengan yang lain.”

Setelah itu bermohonlah mereka itu masing-masing pulang ke rumahnya.
Baginda pun masuk ke dalam istananya hendak beradu. Akan tetapi baginda tiada dapat tidur, sebab memikirkan perkara itu juga. Hambir waktu subuh baginda teringat akan Abu Nawas. “Tiada siapa yang tahu memutuskan perkara itu, melainkan Abu Nawas juga,” pikir baginda dengan suka citanya, lalu ia tidur sampai pagi hari.

Baru bangun, bertitahlah baginda kepada biduandanya, “Panggil Abu Nawas segera,” katanya.
Setelah datang Abu Nawas, maka sabda baginda kepadanya, “Ada datang kepadaku seorang saudagar dari negeri Kopah . . .” Lalu dikhabarkan baginda segala perkara itu dari permulaan sampai kepada akhirnya. “Apa bicaramu tentang hal ini?”

Jawab Abu Nawas, “Ya, Tuanku Syah Alam, jikalau Tuanku suka mendengarkan serta percaya, Insya Allah mudah akal patik akan menghukum dia. Jangan Tuanku bersusah hati, sekarang ini boleh Tuanku suruh bawa kemari oleh saudagar itu anaknya serta seekor kambing yang besar, supaya lekas selesai perkara itu.”

Tiada berapa lama antaranya orang sudah banyak di istana baginda, akan mendengarkan keputusan perkara itu. Saudagar Kopah itu pun telah hadir juga. Dengan segera baginda bertitah kepada Abu Nawas, untuk memutuskan perkara itu. Abu Nawas pun berdatang sembah, berharap, supaya dibawa anak saudagar itu serta kambing besar seekor ke hadapannya. Serta sekalian orang itu mendengar perkataan Abu Nawas demikian itu, semuanya pun heran tercengang-cengang. Apakah konon kehendak Abu Nawas itu, belum seorang jua yang tahu.

Akan saudagar itu teramat besar hatinya, lalu ia bermohon kepada baginda hendak pulang ke negerinya dahulu, akan menjemput anaknya beserta kambing yang terbesar itu.

Baginda pun masuk ke dalam istananya, dan semua orang masing-masing pulang ke rumahnya.

Beberapa hari kemudian daripada itu datanglah pula saudagar itu beserta bini dan anaknya dan kambing seekor ke negeri Bagdad, langsung menghadap Sultan Harunurrasyid di istana.
Maka titah raja itu kepadanya, “Datang engkau, hai, saudagar. Nantilah sebentar, boleh kita kumpulkan penghulu dan rakyat sekalian.”

Setelah itu lalu baginda menyuruh memanggil Abu Nawas. Ketika diketahui oleh Abu Nawas ada orang menjemput dia itu, ia pun berbuat pura-pura sakit, tiada dapat berjalan. Hamba raja itu kembali menghadap baginda, akan mengatakan hal Abu Nawas itu. Maka titah baginda, “Engkau panggil juga dia, bawa kemari dengan kereta.”

Kemudian kelihatanlah Abu Nawas duduk dalam kereta Sultan Harunurrasyid, ditarik oleh dua ekor kuda, menuju ke istana baginda. Serta sampai ke penghadapan, kata baginda kepada Abu Nawas, “Mengapa engkau lambat datang aku panggil.”

Jawab Abu Nawas, “Ya, Tuanku, patik lambat datang ini, sebab patik sakit kaki.”

Titah baginda pula, “Hai, Abu Nawas! Sekarang ini telah datang saudagar itu dengan anaknya dan kambing itu. Cobalah engkau putuskan dengan hukuman yang betul!”

Sembah Abu Nawas, “Baiklah! Jika ada kurnia duli Syah Alam, boleh patik hukumkan.”

Bukan buatan besar hati baginda mendengar jawab demikian. Abu Nawas pun meminta agar anak saudagar serta kambing itu dibawa kepadanya. Maka dipegangnya jari tangan kiri kanak-kanak itu, lalu dijengkalkannya ke tanduk kambing itu. Dengan takdir Allah betul jengkal kanak-kanak itu lebarnya sama dengan lebar tanduk kambing itu. Baginda dan penghulu sekalian orang yang hadir di penghadapan itu amat heran melihat dan memikirkan pekerjaan Abu Nawas itu. Maka sembah Abu Nawas, “Ya, Tuanku, patik memohonkan ampun ke bawah duli Syah Alam! Adapun pada hemat patik tiadalah saudagar itu berkata, jika aku beroleh anak laki-laki, akan aku potong kambing yang besar dan lebar tanduknya sejengkalku, melainkan sejengkal saja. Sekarang karena yang dinazarkannya anak ini, jari kanak-kanak inilah juga patik jengkalkan kepada tanduk kambing itu, pun sampai, tak ada selisihnya! Jadi bolehlah kambing ini disembelih akan melepaskan nazar saudagar itu. Demikianlah akal patik ini, Tuanku. Jikalau salah pendapat patik ini, hukumlah Tuanku Syah Alam dengan tuan-tuan yang hadir ini.”

Sabda baginda, “Betullah kata Abu Nawas, sekali-kali tiada bersalahan lagi!”

Saudagar itu pun terlalu suka cita hatinya mendengar kata Abu Nawas itu, karena ia sudah boleh terlepas daripada nazarnya itu. Abu Nawas diberinya uang seratus dirham. Serta bermohon kepada baginda akan pulang ke negerinya.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters