Kamis, 13 Oktober 2011

SULTAN HARUNURRASYID DITAMPAR OLEH ORANG YAHUDI

Tiada berapa lamanya sesudah hal yang tersebut di atas itu, berjalan-jalanlah Abu Nawas ke kampung orang Yahudi di dalam negeri Bagdad, lalu singgah ke rumah seorang Yahudi kenalannya yang tengah bermain dana-dana. Setelah Abu Nawas memberi salam dan duduk, diberikanlah oleh Yahudi itu kepadanya sebuah kecapi untuk dibunyikan. Maka bermain kecapilah Abu Nawas, terlalu merdu bunyinya. Kemudian kecapi itu pun diambil oleh Yahudi dari tangan Abu Nawas, lalu Abu Nawas disuruhnya menari dana-dana. Abu Nawas pun menarilah. Setelah sudah bermain kecapi dan menari-nari itu, maka Yahudi itu pun meminta kopi, karena mereka itu menurut kebiasaan harus minum bersama-sama.
Maka dikeluarkan oranglah kopi manis, lalu diberikan kepada tiap-tiap yang hadir itu semangkuk seorang. Ketika Abu Nawas hendak minum dan mengangkat cangkirnya, ia ditampar oleh Yahudi itu.
Rupanya Abu Nawas suka saja hatinya. Serta diangkatnya pula cangkir itu sekali lagi beserta piringnya, maka ia pun ditampar pula oleh Yahudi itu. Banyak sungguh Abu Nawas menerima tamparan semalam itu. Sebab sekali angkat sekali tampar . . .
Setelah sudah minum-minum kopi secara itu bermohonlah Abu Nawas hendak pulang ke rumahnya, karena hari sudah pukul dua malam. Di tengah jalan Abu Nawas berpikir-pikir di dalam hatinya, “Jahat sungguh perangai orang Yahudi itu. Main tampar saja! Minumnya seperti binatang! Perangai yang demikian tak boleh dibiarkan saja di negeri Bagdad ini! Aa, ada . . . suatu akal.” Dalam pada itu ia pun sampai ke rumahnya.
Keesokan harinya Abu Nawas pergi menghadap Sultan Harunurrasyid, lalu berdatang sembah, “Ya, Tuanku, ada suatu permainan yang belum pernah patik lihat dimainkan orang di tempat lain, terlalu ajaib sekali.”
Sabda baginda, “Di mana tempatnya?”
Sahut Abu Nawas, “Di tepi hutan ini, Tuanku.”
Sabda baginda pula, “Mari kita pergi ke sana.”
Sahut Abu Nawas, “Baiklah, Tuanku. Nanti malam ini Tuanku pergi bersama-sama dengan patik. Akan tetapi Tuanku jangan membawa pengiring, biar patik seorang diri, jangan memakai pakaian kerajaan, melainkan Tuanku pakai pakaian santeri saja.
Sabda baginda, “Baiklah! Akan tetapi ingat, Abu Nawas, jangan kauperdayakan pula aku seperti dahulu!”
Sahut Abu Nawas, Ampun, Tuanku, mana titah patik junjung.”
Setelah sudah sembahyang isya’, berangkatlah baginda ke rumah Yahudi itu diiringkan oleh Abu Nawas. Ketika baginda sampai ke sana, kebetulan orang Yahudi itu tengah asyik bermain dana-dana dengan beberapa orang temannya. Maka baginda pun dipersilakan duduk oleh Yahudi itu. Kemudian diberikan oranglah kecapi kepada raja itu, lalu dibunyikan baginda dengan merdu suaranya. Yahudi itu terlalu suka hatinya melihat baginda pandai memetik kecapi. Setelah itu maka baginda dipersilakan orang pula bermain dana-dana, tetapi baginda tiada mau, sebab irama gambusnya tiada berat bunyinya. Orang Yahudi itu tiada peduli, melainkan memaksa baginda bermain juga, serta menampar pipi baginda kiri-kanan.
“Apa boleh buat,” kata baginda dalam hatinya, “Aku ini sudah diperdayakan pula rupanya oleh Abu Nawas masuk ke dalam rumah ini.”
Maka menarilah juga baginda sampai keluar peluh, basah bajunya.
Setelah sudah bermain-main secara itu, maka disuruh keluarkan orang pula kopi. Demi dilihat Abu Nawas hal yang demikian, ia pun pura-pura hendak pergi buang air, langsung pulang ke rumahnya seraya berkata di dalam hatinya, “Biar dirasai raja tamparan Yahudi itu, karena salah baginda sendiri jua, apa sebabnya baginda tiada memperhatikan dengan mata sendiri keamanan negerinya, melainkan percaya saja kepada menteri-menterinya.”
Tatkala baginda hendak mengangkat cangkir kopi ke mulutnya, baginda pun ditampar oleh Yahudi itu. Maka diangkat pula oleh baginda cangkir dengan piringnya, ia pun kena tampar sekali lagi. Baginda diam saja. Kemudian dilihatnya Yahudi itu minum seperti binatang, yaitu menghirup sambil tertawa-tawa. Maka kata baginda dalam hatinya, “Apa boleh buat, karena kelengahanku! Apalagi aku seorang diri takut akan melawan Yahudi sebanyak ini.” Setelah sudah minum itu, pulanglah baginda ke istana dengan sakit hatinya.
Pagi-pagi hari, ketika sultan sudah bangun dari tidurnya, dengan segera baginda menyuruh panggil Abu Nawas. Setelah Abu Nawas datang menghadap, maka titah baginda kepadanya, ”Hai, Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu itu! Terima kasih! Engkau masukkan aku ke rumah Yahudi itu dan engkau tinggalkan aku seorang diri, sedang aku diperlakukan demikian itu!”
Sembah Abu Nawas, “Patik mohon ampun ke bawah duli Yang Dipertuan! Adapun patik ini malam sebelumnya telah mengalami demikian juga. Akan patik persembahkan ke bawah Syah Alam, masa Tuanku percayai sembah patik yang hina ini. Sebab itu patik bawa Tuanku ke sana, supaya Tuanku melihat sendiri perangai rakyat Tuanku yang tak senonoh itu.”
Maka baginda pun tiada berkata-kata lagi, karena betul perkataan Abu Nawas itu. Sebentar itu juga baginda menyuruh panggil Yahudi itu. Setelah datang, maka titah baginda, “Hai, Yahudi, apa sebabnya malam tadi engkau tampar aku? Dan lagi adat cara mana pula engkau minum seperti itu? Cara binatang?”
Sembah Yahudi itu dengan ketakutannya, “Ya, Tuanku Syah Alam, patik tiada tahu akan duli Syah Alam. Jikalau sekiranya patik tahu, mana patik berani! Sebab itu patik mohon ampun dari duli Syah Alam.”
Sabda baginda, “Sekarang ini aku balas engkau punya perbuatan itu,” lalu disuruh baginda masukkan Yahudi itu ke dalam penjara, dan mulai pada saat itu dilaranglah orang bermain-main serta minum seperti binatang itu. Barangsiapa melanggar perintah akan dibunuh.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

web referer



Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
free counters